Jumat, 26 Juni 2009

Mahkamah Konstitusi dan Pengkajian Undang-undang


Oleh: J Soedjati Djiwandono

SALAH satu wewenang MK adalah mengkaji atau menguji UU terhadap UUD (judicial review). Bab III, Pasal 1 Ayat (a) UU MK mengatakan, "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945"; dan seterusnya.

Adanya mekanisme pengkajian undang-undang sepintas lalu merupakan kemajuan dalam kehidupan kenegaraan kita, karena selama ini UUD 1945 tidak menyediakan sistem atau mekanisme seperti itu. Tetapi, masalahnya tidak semudah itu. Pengkajian undang-undang bisa merupakan dilema, dan hasilnya dapat bersifat kontra-produktif, karena itu justru berbahaya.

KESULITAN utama adalah justru UUD 1945, termasuk di dalamnya mukadimah yang berisi ideologi negara Pancasila yang seharusnya merupakan rumusan nilai dasar kehidupan bangsa dan negara, ditandai ketidakjelasan dan ambivalensi. Karena itu, UUD 1945 sulit dijadikan ukuran guna menguji berbagai bentuk perundangan dan peraturan negara pada berbagai tingkatan.

Dalam buku yang saya tulis tahun 1995, Setengah Abad Negara Pancasila: Tinjauan Kritis Ke Arah Pembaruan (hal 91), saya memakai istilah "yang bukan-bukan" untuk mengacu pada ketidakjelasan atau ambivalensi seperti itu. Bill Liddle memakai istilah incompleteness dan inbetweenness. Contoh yang paling menonjol adalah identitas RI yang dikatakan "bukan negara agama" (teokrasi), dan "bukan negara sekuler".

Sebagai bangsa, kita menghadapi permasalahan mendasar yang akan mempunyai implikasi serius bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara ini. Nilai-nilai apa saja yang sebenarnya mengikat kita semua yang berlatar belakang sempit dalam pengertian etnis, ras, keagamaan, budaya, bahasa, dan tradisi yang berbeda-beda, menjadi satu bangsa yang disebut "Indonesia". Apakah nilai itu nilai kemanusiaan universal seperti terkandung dalam cita-cita demokrasi: persamaan, keadilan, dan HAM, atau nilai sektarian, seperti keagamaan, etnis, tradisi kedaerahan, dan sebagainya?

Kemudian, kita menghadapi masalah hakikat negara RI yang berasaskan ideologi Pancasila seperti telah disinggung di muka. Istilah "sekuler" banyak disalahmengerti sebagai "antiagama", dan bukan sekadar "antiintervensi negara dalam agama atau masalah internal agama". Sebab itu, pemisahan antara agama dan negara (politik) umumnya ditolak. Tetapi, tidak pernah jelas di mana peran agama. Apakah hukum agama bisa menjadi sumber hukum negara, dan dalam hal apa?

KITA juga menghadapi masalah mendasar dalam kehidupan berdemokrasi, khususnya yang menyangkut hubungan mayoritas-minoritas yang rancu. Sebenarnya, pengambilan keputusan melalui pemungutan suara/voting sebagai mekanisme demokrasi yang akan dimenangkan oleh suara mayoritas adalah wajar dan sah. Tetapi, dapatkah mayoritas memaksakan kehendaknya melalui voting atau "tanpa voting", yang intinya adalah pemaksaan kehendak mayoritas, ketika keputusan itu menyangkut masalah mendasar, yang bertentangan dengan salah satu nilai kemanusiaan yang fundamental, sehingga praktis yang terjadi adalah tirani mayoritas? Inilah yang terjadi pada UU Sisdiknas belum lama berselang.

Sementara itu, dapat diduga adanya begitu banyak hukum, undang-undang, peraturan pemerintah, keppres, dan sebagainya, yang jika diuji atas dasar UUD 1945 ternyata tidak sesuai benar atau bahkan bertentangan dengan UUD 1945, termasuk mukadimahnya, yang berisi ideologi Pancasila, meski istilah "Pancasila" tidak digunakan dalam UUD 1945. Selama ini, tidak satu pun dari semuanya itu pernah diuji konsistensinya atau kesesuaiannya dengan UUD, meski semuanya diaku sebagai berdasarkan UUD 1945.

Akan tetapi, sebelum sebagai bangsa mencapai konsensus tentang nilai-nilai mendasar yang mengikat kita sebagai bangsa dan negara, mekanisme pengkajian UU tidak akan bermakna. Saya tidak bosan-bosannya mengambil contoh UU Perkawinan, karena meski jelas-jelas melanggar hak asasi, belum pernah dikaji terhadap UUD.

UU itu mengandung ketentuan, orang harus menikah "menurut agama masing-masing". Secara implisit, ketentuan ini mewajibkan orang beragama, kecuali bila dia ingin hidup tidak menikah sepanjang hidupnya. Ini jelas bertentangan dengan kebebasan beragama yang dijamin UUD 1945. Seolah-olah para politisi pembuat UU ini tidak memahami perbedaan antara hak dan kewajiban.

Ketentuan itu tidak hanya secara implisit "mewajibkan agama", yang berarti menanamkan benih kemunafikan, karena jika perlu orang harus mengaku beragama, meski dalam hati dia tidak percaya. Ketentuan itu juga mempersulit, bahkan tidak memungkinkan perkawinan antara dua orang yang berlainan agama.

Namun, dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru saja dibentuk, kelihatannya akan sulit mengusahakan pengkajian atas UU Perkawinan. UU tentang Mahkamah Konstitusi menentukan dalam Pasal 51 Ayat (1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; dan seterusnya.

Dalam hal UU Perkawinan, kapan pemohon dapat mengajukan pengkajian atas UU Perkawinan karena hak akan kebebasan beragamanya dilanggar, sebelum atau setelah nikah? Jika sebelumnya, apakah pemohon harus menunggu/menangguhkan pernikahannya, meski permohonannya akhirnya dikabulkan, tetapi dalam waktu berapa lama? Atau apakah dia dapat mengajukan permohonan itu setelah pernikahan, yang berarti mungkin perkawinannya ternyata tidak sah andaikata permohonannya dikabulkan sesudahnya? Tidakkah suatu lembaga negara, perseorangan, kelompok orang, partai, atau ormas, atau siapa pun, yang melihat atau menyadari adanya ketentuan hukum, atau perundangan, atau peraturan pemerintah yang melanggar hak asasi siapa pun dapat mengajukan permohonan atas kajian ketentuan seperti itu?

UU MK juga mengandung ketentuan yang tidak jelas maknanya, meski mungkin tidak akan menimbulkan kesulitan berarti, yaitu Pasal 48 Ayat (1) Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat: a. kepala putusan berbunyi: "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"; Selain tidak jelas maksudnya, suatu keputusan yang mungkin saja tidak sesuai dengan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa justru akan merupakan penghinaan terhadap Tuhan. Bagaimana menilainya? Mengapa kita gemar ungkapan yang tidak bermakna dan munafik? Bagaimana bila UU tentang MK itu sendiri cacat hukum?

BERBAGAI masalah telah menimbulkan kesulitan dan penderitaan dalam hidup banyak orang karena adanya perundang-undangan dan berbagai peraturan yang tidak membedakan antara hak dan kewajiban seperti UU Sisdiknas atau yang bersifat diskriminatif dalam pengertian agama atau rasial. Ketentuan seperti itu, dalam hukum, perundangan atau peraturan pemerintah perlu ditinjau ulang, diuji dan dikaji, dan jika terbukti bertentangan dengan nilai dasar kemanusiaan, harus dinyatakan batal demi hukum dan diganti dengan yang benar.

Suatu mekanisme pengkajian undang-undang mendesak kita perlukan. Tetapi, masalah itu bisa merupakan dilema. Suatu konsensus nasional perlu dikembangkan tentang nilai dasar sedemikian sehingga lama- kelamaan orang menghayatinya secara tidak sadar lagi sebagai bagian cara hidup seperti di negara-negara Barat yang sudah maju, misalnya Inggris dan AS.

Ini akan merupakan proses jangka panjang melalui sederet hukum dan sistem perundangan maupun peraturan pemerintah/negara yang didasarkan pada nilai kemanusiaan universal dan terbuka terhadap ujian dan kajian atas dasar UUD, yang terus memerlukan amandemen atau diganti menurut tuntutan zaman. Bahkan, jika perlu, ideologi negara, yang tidak lebih dari rumusan cita-cita bangsa, perlu diganti.

Sila pertama ideologi Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, kalaupun tidak secara terbuka, telah selalu menimbulkan kontroversi. Sebagian orang memahaminya sebagai perlindungan atas kebebasan beragama, tetapi sebagian lagi memahaminya sebagai kewajiban beragama, seakan-akan kepercayaan kepada Tuhan harus melalui agama, dan agama harus memiliki kitab suci. Lalu agama berarti agama yang diakui, padahal agama tidak memerlukan pengakuan negara.

Merupakan mitos bahwa seakan-akan sila Ketuhanan YME itu mempersatukan berbagai agama. Kenyataannya, sila itu telah menjadi sumber konflik antarumat beragama sejak sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia.

DALAM suatu seminar tentang RUU Sisdiknas, yang telah disahkan sebagai UU, seorang tokoh Islam mengusulkan agar Kemanusiaan diletakkan sebagai sila pertama. Suatu gagasan yang konstruktif, karena kemanusiaan telah meliputi sila-sila yang lain. Tetapi, bagi saya, cita-cita demokrasi telah mencakup kelima sila ideologi Pancasila itu.

Masalahnya kini, apakah kita bersedia, berani, dan mampu membebaskan diri dari berbagai kungkungan cara pikir usang setelah mengalami usaha pembekuan dan pembodohan terutama melalui "indoktrinasi" di bawah "demokrasi terpimpin" Soekarno hingga "penataran P-4 "ala demokrasi Pancasila" Order Baru Soeharto, seluruhnya selama lebih dari empat dasawarsa? Dan, sanggupkah kita berpikir secara sungguh-sungguh dan mendalam, melihat jauh ke depan, mempersoalkan segala sesuatu yang telah disakralkan dan ditabukan oleh rezim-rezim otoriter demi kelangsungan kekuasaan mereka sendiri?

Beranikah kita "melawan arus"? Sanggupkah kita berjuang dan bekerja keras dengan berbagai pengorbanannya, demi masa depan bangsa ini? Itu merupakan perjuangan berat dan panjang ke arah suatu perubahan fundamental. Dan, setiap perubahan mengandung ketidakpastian. Tetapi, tanpa menempuh risiko itu, perubahan yang terjadi hanyalah perubahan ke arah lebih buruk.


Soedjati Djiwandono Analis Politik, Tinggal di Jakarta


URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/09/opini/546333.htm

Senin, 15 Juni 2009

Rakyat Bukan "Tumbal" Pembangunan


Oleh: Aloys Budi Purnomo



TIDAK beda dengan Orde Baru, Era Reformasi telah menampakkan wajah kebrutalan penguasa yang sewenang-wenang melukai hati rakyat sendiri yang miskin dan menderita! Rakyat menjadi "tumbal" pembangunan. Itulah salah satu aspek mengerikan yang diwariskan rezim Orde Baru dan disempurnakan Era Reformasi secara lebih sadis dan ironis!

Ironi itu kian jelas dalam kasus penggusuran yang akhir-akhir ini marak terjadi! Pada rezim Orde Baru , penggusuran masih dipermak dengan basa-basi "pembebasan tanah demi pembangunan". Kini penggusuran secara kasar dan brutal diprogramkan "antek-antek" Reformasi yang telah menjadi rezim lebih kejam terhadap rakyat yang seharunya dilindungi. Alih-alih dilindungi dan memperoleh kesejahteraan, mereka justru digusur, dilibas, ditindas, dan dipukuli!

Distorsi

Dalam praktik penggusuran yang marak terjadi hari-hari ini, kita menyaksikan terjadinya distorsi hakikat negara, pemerintah dan pemerintahan di negeri ini. Kita semua tahu, pada hakikatnya lembaga negara, pemerintah, dan pemerintahan dibentuk untuk menciptakan perikehidupan yang lebih adil, sejahtera, dan manusiawi. Reksa kesejahteraan bersama (common good) dan terjaminnya komunitas masyarakat yang adil (bonnum commune), yang mestinya menjadi tujuan negara dan dilaksanakan pemerintah, telah terdistorsi menjadi pengabaian dan penindasan terhadap rakyat!

Negara yang mestinya menjamin kesejahteraan rakyat sesuai UUD 1945 pun telah menjadi negara yang merampas dan menindas rakyat! Padahal, sebenarnya, justru ketika negara (bersama pemerintah dan pemerintahannya) berhasil memberi kepada rakyat dan menjaminnya, di sanalah negara memperoleh orisinalitas dan kelayakannya sebagai negara. Persis itulah dasar utama kewenangan negara, yakni menyejahterakan rakyat!

Bila yang terjadi sebaliknya, yakni penggusuran, penindasan, dan penganiayaan terhadap rakyat, negara tidak menegakkan kewenangannya, justru bertindak sewenang-wenang (arbitrary) dan menyalahgunakan kewenangannya! Dengan kata lain, para penguasa, elite politik dan pemerintahan negeri ini telah mengkhianati tugas utamanya untuk mewujudkan kepentingan bersama dalam sikap hormat terhadap kebebasan masyarakat yang mendamba kesejahteraan.

Dalam kasus penggusuran yang terjadi akhir-akhir ini, elite politik dan pemerintahan telah mendistorsi tanggung jawab luhur nan mulianya menjadi sebuah tindakan kejam dengan melulu memerintah berdasar ancaman dan intimidasi! Segala janji yang diumbar saat mereka meminta dukungan rakyat demi meraih kekuasaan telah menjadi janji palsu yang membuat hati kita pilu!

Secara tersamar, namun positif (hidden curriculum), bagi kita-rakyat-hal ini menjadi pendidikan dan perhatian yang baik menjelang Pemilu 2004 untuk lebih berhati-hati memilih wakilnya dan pemimpin bangsa. Tidak usah kita mudah tertipu janji-janji palsu! Jangan mudah terjebak bibir manis, namun penuh bisa yang mendatangkan sengsara bagi rakyat jelata! Sudah terbukti di Nusantara ini, mereka yang selama ini mengumbar janji palsu tidak akan mungkin mampu menegakkan kesejahteraan bersama, terutama bagi rakyat miskin dan menderita.

"Tumbal"


Praktik penggusuran rakyat yang dengan susah payah mengais remah-remah pembangunan di Ibu Kota mengisyaratkan munculnya pemahaman sesat mengenai "tumbal" pembangunan. Ingatlah para elite politik dan pemerintahan Indonesia, rakyat bukan "tumbal" pembangunan.

Alih-alih menjadikan rakyat sebagai "tumbal" pembangunan, mestinya segala proses politik dan upaya pembangunan di negeri ini ditujukan untuk mengatasi atau paling tidak mengurangi penderitaan manusiawi dalam semua bentuk dan dimensi, terutama bagi rakyat papa miskin jelata dan menderita! Dalam perspektif ini, penggusuran tidak bisa dibenarkan, apalagi disertai ancaman, intimidasi, dan tindakan kekerasan, baik secara fisik maupun mental!

Meminjam proses pemikiran dialektika negatif-nya Adorno, kita sepantasnya berteriak lantang, "Rakyat jangan terus dikorbankan!" " Janganlah rakyat dijadikan ’tumbal’ pembangunan!" "Janganlah rakyat terus dibohongi dan ditipu!" "Janganlah kita buta-dan-tuli terhadap penderitaan dan kesengsaraan mereka!"

Maka, seruan "Hentikan Penggusuran!" untuk kedua kali disampaikan Franz Magnis- Suseno secara blak-blakan dengan segenap empati serta preferensi terhadap dan bersama kaum miskin melalui harian ini perlu digemakan ke segala sudut persada Nusantara ini. Makin lantang diteriakkan, makin nyaring disuarakan, semoga seruan itu menjadi seruan profetik bagi para elite politik dan penguasa bangsa yang kian hari kian tidak mempunyai kepekaan terhadap kebutuhan rakyatnya sendiri.

Adalah tugas pemerintah dan penguasa untuk menegakkan hukum, tatanan sosial dan mereksa kesejahteraan rakyatnya sehingga rakyat terbebaskan dari penderitaan manusiawinya dan memperoleh hidup layak. Namun, pantas dicatat secara kritis atas dasar sikap bela rasa sehati seperasaan bersama yang menderita (compassionate), tindakan penggusuran yang agaknya menjadi program elite politik dan pemerintahan, maupun antek-anteknya (para pelaksana), kini telah menjadi cara-cara penindasan baru terhadap rakyat miskin! Sungguhpun dilakukan dengan itikad baik, namun praktik penggusuran telah melahirkan penderitaan baru bagi mereka yang menjadi korban! Mereka menjadi tumbal! Mereka hancur lebur, bukan hanya secara fisik, melainkan mental dan sosial!

Oleh karena itu, kita tidak hanya menyerukan agar praktik penggusuran dihentikan, tetapi perlulah para elite politik dan pemerintahan kita melakukan introspeksi, kritik diri, dan koreksi secara tepat dan cepat terhadap segala praktik penggusuran agar tidak mendatangkan bencana bagi kemanusiaan rakyat papa miskin! Solidaritas harus dijalin oleh semua pihak yang berkehendak baik untuk melawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan ini! Namun, pertama dan terutama, pemerintah bertanggung jawab memberikan kesejahteraan bagi mereka!

Memihak kaum miskin


Di Bumi Pertiwi ini, komitmen untuk memihak kaum miskin (preferential option for and with the poor) tampaknya menjadi sesuatu yang impossible dan unrealistic. Meski demikian, adalah imperatif bahwa kita sebagai bangsa yang melandaskan diri pada kemanusiaan yang adil dan beradab serta berkeadilan sosial memandang seluruh proses Reformasi yang dicita-citakan sejak 1998 dari sudut orang miskin. Mari kita menegakkan kembali komitmen Reformasi atas nama rakyat yang tertindas, korban penggusuran, korban perang di berbagai tempat, khususnya di Aceh dan Papua, korban bencana di Bohorok, korban ketidakadilan di Larantuka, maupun korban korupsi, kolusi dan nepotisme di seluruh hamparan negeri ini.

Inilah saatnya, kita menempatkan dunia orang miskin ke dalam hati dan jiwa kita demi kesejahteraan mereka. Karena negara beserta pemerintah dan pemerintahannya yang bertanggung jawab untuk itu tidak melaksanakan tugasnya secara baik, tidakkah ini merupakan isyarat bagi kita agar ke depan perlu kembali menegakkan daya kekuatan civil society yang tidak mudah terbuai oleh bujuk rayu dan permainan uang di saat pemilu?

Tidakkah praktik penggusuran yang kian biadab dan brutal itu harus segera dihadapi dengan solidaritas civil society atas nama mereka yang tergusur, tersingkir dan perjuangan kita bersama demi masa depan yang lebih adil, sejahtera dan manusiawi? Bila ini terjadi, meminjam dialektika Ignacio EllacurĂ­a, kisah kehidupan orang miskin negeri ini akan menjadi historisasi utopia akan kemenangan definitif keadilan atas ketidakadilan, cinta atas kebencian, kehidupan atas kematian, dan penggusuran atas perlindungan rakyat dan kesejahteraan mereka! Inilah social-political advocacy yang tidak bisa ditawar, yakni mewujudkan kehidupan sosial-politik sebagai ungkapan solidaritas kepada dan bersama kaum miskin dan menderita! Mereka bukan "tumbal" pembangunan, bukan tumbal Reformasi!

*Aloys Budi Purnomo Pr Rohaniwan, Rektor Seminari Tinggi St Petrus, Pematang Siantar

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0312/04/opini/717519.htm

Minggu, 14 Juni 2009

Dialog Kebangsaan dan Nasionalisme


Pancasila sejak awal orde reformasi mengalami sebuah pengambangan makna yang radik. Indikasinya adalah massifnya kekuranganpahaman para generasi baru saat ini dalam mengenal dan memaknai arti Pancasila, distorsi ini merata di seluruh Indonesia. Pancasila sebagai infrastruktur fundamental keberadaan Indonesia sebagai bangsa dan Negara perlu direvitalisasi sebagai elan vital agar mampu merekatkan kembali serpih-serpih ketimpangan-ketimpangan ekonomi, politik, sosial, rasa primordialistis dan komunalistik yang terjadi dalam konteks kekinian. Jika tidak, bukan tidak mungkin ramalan ahli-ahli dunia bahwa Indonesia di 2020 akan memasuki golden age, yang mana bahwa Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan dunia baru hanyalah sebuah jargon kosong dan atau prediksi yang paling hitam dan pekat adalah Indonesia hanya tinggal kenangan. Pertanyaannya sekarang adalah masih saktikah Pancasila? Mampukah bangsa ini untuk keluar krisis multidimensi yang terjadi akibat sekat-sekat sosial, ekonomi,politik dan agama?

Jawaban terbaiknya adalah mengembalikan pancasila pada posisinya semula sebagai elan vital bangsa dan bukan hanya sebagai sebuah ideologi yang dimitoskan, dikultuskan tapi sebaliknya menjadikanya sebagai ideologi terbuka. Tetapi tidak hanya pada tataran itu, pun sebagai sebuah sistem ilmu pengetahuan, yang mana dijadikan sebagai rujukan dan tolak ukur dari penyelenggaraan bangsa dan Negara menuju bangsa dan Negara yang berkesejahteraan sesuai cita-cita luhur founding fathers bangsa ini dan tidak merujuk pada imperialisme atau neo-liberalisme atau kapitalisme atau fundamentalisme agama yang sempit dalam menyelenggarakan bangsa dan negara. Jika ingin membawa bangsa ini keluar dari carut-marut permasalahan yang mendekap erat bangsa ini jalan-nya adalan perkokoh pondasi keberadaan keindonesiaan kita sebagai sebuah bangsa yang satu, yaitu “PANCASILA” dan respect yang sungguh terhadap nilai-nilai budaya luhur lagi adi luhung bangsa Indonesia dan bukan mengikisnya sehingga tinggal serpihan-serpihan kecil yang tecerai berai dan yang tidak berguna. Padahal kalau ditilik lebih jauh sesungguhnya Pancasila adalah sesuatu kekuatan ideology dunia baru atau sebuah paradigma baru dunia yang nantinya membawa dunia atau menjembatani dunia menuju millennium 3000.

Memandang dan menyikapi bahwa Pancasila adalah pusat orientasi strategis, fundamental dan perekat keindonesiaan kita, maka pada tanggal 13 Mei 2009 diselenggarakan sebuah diskusi panel atau dialog kebangsaan dan nasionalisme dengan tema “Penguatan Semangat Nasionalisme Dan Kebangsaan Generasi Muda Dengan Menanamkan Kecintaan Terhadap Budaya dan Sejarah Bangsa” di Arena Budaya Universitas Mataram yang diselenggarakan oleh Aliansi Kebangsaan Pemuda Indonesia. Anggota-anggota aliansi terdiri dari beberapa organisasi Kemasyarakatan Pemuda yang sekeprihatinan dan se-visi terhadap keadaan dan kondisi bangsa ini yaitu PMKRI Cabang Mataram, PMII Cabang Mataram, KMHDI NTB, GMKI Cabang Mataram, Hikma Budhis Mataram, Darma Duta, Green Movement, Lensa NTB, dan SDK. Pembicara-nya adalah Bpk Prof. Dr. Jati Kusumo (Budayawan dan eks. Anggota DPR-MPR), Jalaludin Arzaki (Budayawan NTB) dan Drs. L. Anggawa Nuraksi,MM (Kepala Inspektorat Kota Mataram dan Budayawan Sasak). Ketua Panitia Kolektif-kolegial penyelenggara dialog ini adalah Muhammad Jayadi (eks Ketua Umum PMII cabang Mataram) dan Sekretaris Panitia adalah Yustinus Ghanggo Ate (Ketua Presidium PMKRI cabang Mataram). Peserta dialog ini berasal dari berbagai elemen baik pemerintah provinsi NTB, Pemerintah Kotamadya Mataram, LSM-LSM, Ormas-Ormas, Media elektronik dan media cetak dan BEM-BEM Universitas, Institut, Sekolah Tinggi dan Akademi se-kota Mataram.

Bentuk komitmen kaum muda dalam membadankan cinta kepada Ibu Pertiwi dan Cintakepada Negara adalah dengan berikrar untuk tetap menjaga dan berpegang teguh pada lima pilar utama bangsa dan Negara INDONESIA yaitu: Bendera Merah Putih, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Ikrar tersebut ditandatangani oleh Tokoh-Tokoh baik dari Pemerintah Provinsi, Militer, Agama dan Masyarakat dan segenap elemen-elemen yang bergabung dalam Aliansi Kebangsaan dan Pemuda Indonesia. Ikrar ini, juga akan dikirim keseluruh kepala daerah tingkat II di NTB, Gubernur Provinsi NTB dan Presiden Republik Indonesia. Selain sebagai bentuk pernyataan sikap, pun untuk menyadarkan atau mengingatkan kembali Pemerintah baik daerah dan pusat agar lebih memaknai lima pilar diatas dengan lebih mementingkan bangsa dari pada kepentingan partai pendukung, golongan, suku dan pribadi. Dengan adanya dialog ini diharapkan bahwa rasa sebagai satu bangsa dan satu tanah air semakin mengkristal dalam diri setiap orang muda yang akan menjadi agen perubah di masa datang bukan generasi penerus kebobrokan sistem hari ini dan semua elemen bangsa ini terkhusus yang berada pada lingkaran dalam dari sistem. Semoga…Pro Patria!!!

Yustinus Ghanggo Ate, Ketua PMKRI Cabang Mataram Periode 2009-2010

Tepat pada hari raya Pantekosta, minggu 31 Mei 2009, hari bersejarah dan penuh makna bagi PMKRI secara nasional, Saudara Yustinus Ghanggo Ate anggota biasa PMKRI Cabang Mataram-Sanctus Thomas Aquinas dilantik sebagai Mandataris RUAC/Formatur Tunggal/Ketua Presidium PMKRI Cabang Mataram Periode 2009-2010 menggantikan Saudara Anselmus Ngando, Mandataris RUAC/Formatur Tunggal/Ketua Presidium PMKRI Cabang Mataram Periode 2008-2009. Dalam kata sambutannya Ketua Presidium terpilih menekankan tentang perlunya kaderisasi prepatoris dan antisipatoris, pembinaan yang berorientasi masa depan dan dititikberatkan tiga poin utama: pertama, penguatan intelektualitas, demi meretas kader pemikir dan imaginative; Kedua, Penguatan spritualitas Katholik agar kader yang tidak hanya mampu menghayati spiritual pada aras ritualistic-formalistik-legalistik sehingga tidak berbuah manusia yang tidak beretika dan beriman dangkal tapi sebaliknya dan berpihak atas dasar kasih; ketiga, Pengokokohan solidaritas organisasi demi meretas solidaritas sosial/fratenitas. Membangun kepekaan dan rasa persaudaraan yang sejati antar anggota, dimana habitus yang baik ini jika membadan efeknya baik sekali jika berada dalam ruang sosial yang lebih luas. Sehingga dimasa depan kita tidak terjembrab lagi pada perilaku menyimpang yang sama dari elit-elit bangsa hari ini yang cendrung menikmat pada ruang diri bukan bagi kepentingan yang lebih besar yaitu bangsa ini dan dengan demikian kita mampu menelurkan kader-kader yang memaknai kepemimpinan sebagai tindakan, bukan posisi atau jabatan seperti yang dikatakan oleh Donald MacGronnon, yang bermuara pada “Terwujudnya Keadilan Sosial,Kemanusiaan dan Persaudaraan Sejati”. Dalam kesempatan ini juga Ketua Presidium mengatakan bahwa berbicara tentang PMKRI adalah berbicara tentang masa depan diri, bangsa dan gereja dan mengajak untuk belajar dan berproses memanusia. Pelantikan ini dilaksanakan di Aula SMPK Kesuma Mataram-NTB dan dipersiapkan dengan baik oleh ketua Panitia Pelaksana, Saudara Fransisikus X. Didion, dan jajaran kepanitiaannya.

Pelantikan ini diawali oleh misa yang dipimpin oleh Pator moderator PMKRI cabang Mataram, Romo Yohanes Kadek Aryana, Pr. Sidang Kehormatan Pelantikan ini dihadiri pula oleh rekan-rekan KMHDI NTB dan PMII Mataram serta kakak-kakak alumni, Ir. Edi Fernandes, MP dan Hohorius MD. Balela. Tanpa disengaja, momentum pelantikan ini sungguh bersejarah dan penuh makna karena tepat pada hari raya Roh Kudus turun atas Para Rasul. Mengapa bersejarah? Hari lahir PMKRI Nasional bertepatan dengan hari Pantekosta, yang mana tidak lepas dari campur tangan Monsigneur Soegijapranata, Sj., Uskup Semarang dan Pahlawan Nasional RI. Alasan beliau menetapkan tanggal tersebut adalah sebagi simbol turunnya roh ketiga dari Tri Tunggal Maha Kudus yaitu Roh Kudus kepada para mahasiswa Katholik untuk berkumpul dan berjuang dengan landasan ajaran agama Katholik, membela, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selamat bertugas Ketua Presidium yang baru, semoga sungguh-sungguh menjadi Servus Servorum Dei (hamba dari para hamba) seperti yang dikatakan Paus Yohanes XXIII, pionir konsili Vatikan II.
“PRO ECCLESIA ET PATRIA!!!”

PMKRI Cabang Mataram Sanctus Thomas Aquinas great thanks to:


Pater Deken Dekenat NTB, P. Rosarius Geli, SVD
Bpk. Danrem 162/Wirabakti, Kolenel TNI AY. Purwoko Bakti
Pemerintah Kota Mataram
Pastor Moderator PMKRI Cabang Mataram, Rm. Yohanes Kadek Aryana,Pr.
Donator-Donator
Kakak-Kakak Alumni PMKRI Cabang Mataram

Atas perhatiannya yang begitu besar bagi pembangunan intelektulitas, katholisitas dan fratenitas manusia perhimpunan baik secara moral maupun materil khususnya dalam menyelenggarakan kegiatan MPAB-MABIM, RUAC dan Pelantikan Pengurus DPC Periode 2009-2010. Apa yang ditabur hari ini tidaklah sia-sia karena tuaian-nya dimasa depan adalah baik demi mewarnai ke-Indonesia-an kita dan Gereja menjadi lebih baik.

Rapat Umum Anggota Cabang (RUAC) ke-XXI Perhimpunan Mahasiwa Katholik Republik (PMKRI) Cabang Mataram-Sanctus Thomas Aqunas

Rapat Umum Anggota Cabang (RUAC) merupakan lembaga kekuasaan tertinggi di Perhimpunan tingkat cabang atau merupakan sebuah lembaga legislative tertinggii tingkat cabang dan diselenggarakan sekali dalam satu tahun. Yang dirancang dan digarap dalam Sidang RUAC adalah isu-isu strategis yang menentukan masa depan perhimpunan dimasa datang demikian kata Ketua Panitia Pelaksana RUAC, Antonius Damianus Mahemba dalam laporannya pada Sidang Kehormatan Pembukaan RUAC. Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh Ketua Presidium PMKRI Cabang Mataram, Anselmus Ngando dan Maarif, Ketua HMI Cabang Mataram, dalam sambutannya mewakili OKP-OKP yang hadir antara lain Sahabat-sahabat dari PMII Cabang Mataram dan HMI Cabang Mataram, yaitu bahwa RUAC memilik peran yang sangat strategis dan mempunyai fungsi evaluasi masa satu kepengurusan DPC. Pada Sidang Kehormatan ini Kepala Bimas Katholik Kanwil Depag NTB, Drs Benidiktus Haro, MP.d ikut hadir untuk membuka RUAC secara resmi. Pun hadir Alumni PMKRI Cabang Mataram, Abang Drs. Petrus Leksi, Fungsionaris Golkar DPD I NTB dan Pelati PS Mataram untuk memberi dukungan moral kepada kader pembelajar.

RUAC yang bertemakan “Peningkatan Kaderisasi dalam Mewujudkan Integritas Organisasi ini dimulai pada tanggal 9 Mei 2009, dimana sidangnya dilangsungkan di Aula SMPK St. Antonius, Ampenan, Mataram,NTB. Agenda yang diusung adalah pembahasan draft Anggaran Rumah Tangga Cabang (ARTC), Pembahasan Kertas Kerja Presidium-presidium, Sidang komisi-komisi, LPJ dan Pemilihan Mandataris RUAC/Formatur Tunggal/Ketua Presidium Periode 2009-2010. RUAC ke-XXI ini membuahkan TAP-TAP salah satunya adalah terpilihnya saudara Yustinus Ghanggo Ate, anggota biasa PMKRI cabang Mataram sebagai Mandataris RUAC/Formatur Tunggal/Ketua Presidium PMKRI Cabang PMKRI periode 2009-2010. Pada hari Minggu tanggal 10 Mei 2009 RUAC ditutup. Pastor Moderator PMKRI Cabang Mataram, Romo Yohanes Kadek Aryana, Pr., pada sidang Kehormatan penutupan RUAC mengatakan bahwa PMKRI cabang Mataram harus sungguh mau belajar untuk bertumbuh demi Negara dan Gereja di masa datang. Semoga buah-buah RUAC sungguh dapat memberi perubahan bagi PMKRI Mataram sebagai wadah candradimuka pembinaan dan perjuangan “Pro Bono Publico!!!”