Jumat, 26 Juni 2009

Mahkamah Konstitusi dan Pengkajian Undang-undang


Oleh: J Soedjati Djiwandono

SALAH satu wewenang MK adalah mengkaji atau menguji UU terhadap UUD (judicial review). Bab III, Pasal 1 Ayat (a) UU MK mengatakan, "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945"; dan seterusnya.

Adanya mekanisme pengkajian undang-undang sepintas lalu merupakan kemajuan dalam kehidupan kenegaraan kita, karena selama ini UUD 1945 tidak menyediakan sistem atau mekanisme seperti itu. Tetapi, masalahnya tidak semudah itu. Pengkajian undang-undang bisa merupakan dilema, dan hasilnya dapat bersifat kontra-produktif, karena itu justru berbahaya.

KESULITAN utama adalah justru UUD 1945, termasuk di dalamnya mukadimah yang berisi ideologi negara Pancasila yang seharusnya merupakan rumusan nilai dasar kehidupan bangsa dan negara, ditandai ketidakjelasan dan ambivalensi. Karena itu, UUD 1945 sulit dijadikan ukuran guna menguji berbagai bentuk perundangan dan peraturan negara pada berbagai tingkatan.

Dalam buku yang saya tulis tahun 1995, Setengah Abad Negara Pancasila: Tinjauan Kritis Ke Arah Pembaruan (hal 91), saya memakai istilah "yang bukan-bukan" untuk mengacu pada ketidakjelasan atau ambivalensi seperti itu. Bill Liddle memakai istilah incompleteness dan inbetweenness. Contoh yang paling menonjol adalah identitas RI yang dikatakan "bukan negara agama" (teokrasi), dan "bukan negara sekuler".

Sebagai bangsa, kita menghadapi permasalahan mendasar yang akan mempunyai implikasi serius bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara ini. Nilai-nilai apa saja yang sebenarnya mengikat kita semua yang berlatar belakang sempit dalam pengertian etnis, ras, keagamaan, budaya, bahasa, dan tradisi yang berbeda-beda, menjadi satu bangsa yang disebut "Indonesia". Apakah nilai itu nilai kemanusiaan universal seperti terkandung dalam cita-cita demokrasi: persamaan, keadilan, dan HAM, atau nilai sektarian, seperti keagamaan, etnis, tradisi kedaerahan, dan sebagainya?

Kemudian, kita menghadapi masalah hakikat negara RI yang berasaskan ideologi Pancasila seperti telah disinggung di muka. Istilah "sekuler" banyak disalahmengerti sebagai "antiagama", dan bukan sekadar "antiintervensi negara dalam agama atau masalah internal agama". Sebab itu, pemisahan antara agama dan negara (politik) umumnya ditolak. Tetapi, tidak pernah jelas di mana peran agama. Apakah hukum agama bisa menjadi sumber hukum negara, dan dalam hal apa?

KITA juga menghadapi masalah mendasar dalam kehidupan berdemokrasi, khususnya yang menyangkut hubungan mayoritas-minoritas yang rancu. Sebenarnya, pengambilan keputusan melalui pemungutan suara/voting sebagai mekanisme demokrasi yang akan dimenangkan oleh suara mayoritas adalah wajar dan sah. Tetapi, dapatkah mayoritas memaksakan kehendaknya melalui voting atau "tanpa voting", yang intinya adalah pemaksaan kehendak mayoritas, ketika keputusan itu menyangkut masalah mendasar, yang bertentangan dengan salah satu nilai kemanusiaan yang fundamental, sehingga praktis yang terjadi adalah tirani mayoritas? Inilah yang terjadi pada UU Sisdiknas belum lama berselang.

Sementara itu, dapat diduga adanya begitu banyak hukum, undang-undang, peraturan pemerintah, keppres, dan sebagainya, yang jika diuji atas dasar UUD 1945 ternyata tidak sesuai benar atau bahkan bertentangan dengan UUD 1945, termasuk mukadimahnya, yang berisi ideologi Pancasila, meski istilah "Pancasila" tidak digunakan dalam UUD 1945. Selama ini, tidak satu pun dari semuanya itu pernah diuji konsistensinya atau kesesuaiannya dengan UUD, meski semuanya diaku sebagai berdasarkan UUD 1945.

Akan tetapi, sebelum sebagai bangsa mencapai konsensus tentang nilai-nilai mendasar yang mengikat kita sebagai bangsa dan negara, mekanisme pengkajian UU tidak akan bermakna. Saya tidak bosan-bosannya mengambil contoh UU Perkawinan, karena meski jelas-jelas melanggar hak asasi, belum pernah dikaji terhadap UUD.

UU itu mengandung ketentuan, orang harus menikah "menurut agama masing-masing". Secara implisit, ketentuan ini mewajibkan orang beragama, kecuali bila dia ingin hidup tidak menikah sepanjang hidupnya. Ini jelas bertentangan dengan kebebasan beragama yang dijamin UUD 1945. Seolah-olah para politisi pembuat UU ini tidak memahami perbedaan antara hak dan kewajiban.

Ketentuan itu tidak hanya secara implisit "mewajibkan agama", yang berarti menanamkan benih kemunafikan, karena jika perlu orang harus mengaku beragama, meski dalam hati dia tidak percaya. Ketentuan itu juga mempersulit, bahkan tidak memungkinkan perkawinan antara dua orang yang berlainan agama.

Namun, dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru saja dibentuk, kelihatannya akan sulit mengusahakan pengkajian atas UU Perkawinan. UU tentang Mahkamah Konstitusi menentukan dalam Pasal 51 Ayat (1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; dan seterusnya.

Dalam hal UU Perkawinan, kapan pemohon dapat mengajukan pengkajian atas UU Perkawinan karena hak akan kebebasan beragamanya dilanggar, sebelum atau setelah nikah? Jika sebelumnya, apakah pemohon harus menunggu/menangguhkan pernikahannya, meski permohonannya akhirnya dikabulkan, tetapi dalam waktu berapa lama? Atau apakah dia dapat mengajukan permohonan itu setelah pernikahan, yang berarti mungkin perkawinannya ternyata tidak sah andaikata permohonannya dikabulkan sesudahnya? Tidakkah suatu lembaga negara, perseorangan, kelompok orang, partai, atau ormas, atau siapa pun, yang melihat atau menyadari adanya ketentuan hukum, atau perundangan, atau peraturan pemerintah yang melanggar hak asasi siapa pun dapat mengajukan permohonan atas kajian ketentuan seperti itu?

UU MK juga mengandung ketentuan yang tidak jelas maknanya, meski mungkin tidak akan menimbulkan kesulitan berarti, yaitu Pasal 48 Ayat (1) Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat: a. kepala putusan berbunyi: "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"; Selain tidak jelas maksudnya, suatu keputusan yang mungkin saja tidak sesuai dengan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa justru akan merupakan penghinaan terhadap Tuhan. Bagaimana menilainya? Mengapa kita gemar ungkapan yang tidak bermakna dan munafik? Bagaimana bila UU tentang MK itu sendiri cacat hukum?

BERBAGAI masalah telah menimbulkan kesulitan dan penderitaan dalam hidup banyak orang karena adanya perundang-undangan dan berbagai peraturan yang tidak membedakan antara hak dan kewajiban seperti UU Sisdiknas atau yang bersifat diskriminatif dalam pengertian agama atau rasial. Ketentuan seperti itu, dalam hukum, perundangan atau peraturan pemerintah perlu ditinjau ulang, diuji dan dikaji, dan jika terbukti bertentangan dengan nilai dasar kemanusiaan, harus dinyatakan batal demi hukum dan diganti dengan yang benar.

Suatu mekanisme pengkajian undang-undang mendesak kita perlukan. Tetapi, masalah itu bisa merupakan dilema. Suatu konsensus nasional perlu dikembangkan tentang nilai dasar sedemikian sehingga lama- kelamaan orang menghayatinya secara tidak sadar lagi sebagai bagian cara hidup seperti di negara-negara Barat yang sudah maju, misalnya Inggris dan AS.

Ini akan merupakan proses jangka panjang melalui sederet hukum dan sistem perundangan maupun peraturan pemerintah/negara yang didasarkan pada nilai kemanusiaan universal dan terbuka terhadap ujian dan kajian atas dasar UUD, yang terus memerlukan amandemen atau diganti menurut tuntutan zaman. Bahkan, jika perlu, ideologi negara, yang tidak lebih dari rumusan cita-cita bangsa, perlu diganti.

Sila pertama ideologi Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, kalaupun tidak secara terbuka, telah selalu menimbulkan kontroversi. Sebagian orang memahaminya sebagai perlindungan atas kebebasan beragama, tetapi sebagian lagi memahaminya sebagai kewajiban beragama, seakan-akan kepercayaan kepada Tuhan harus melalui agama, dan agama harus memiliki kitab suci. Lalu agama berarti agama yang diakui, padahal agama tidak memerlukan pengakuan negara.

Merupakan mitos bahwa seakan-akan sila Ketuhanan YME itu mempersatukan berbagai agama. Kenyataannya, sila itu telah menjadi sumber konflik antarumat beragama sejak sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia.

DALAM suatu seminar tentang RUU Sisdiknas, yang telah disahkan sebagai UU, seorang tokoh Islam mengusulkan agar Kemanusiaan diletakkan sebagai sila pertama. Suatu gagasan yang konstruktif, karena kemanusiaan telah meliputi sila-sila yang lain. Tetapi, bagi saya, cita-cita demokrasi telah mencakup kelima sila ideologi Pancasila itu.

Masalahnya kini, apakah kita bersedia, berani, dan mampu membebaskan diri dari berbagai kungkungan cara pikir usang setelah mengalami usaha pembekuan dan pembodohan terutama melalui "indoktrinasi" di bawah "demokrasi terpimpin" Soekarno hingga "penataran P-4 "ala demokrasi Pancasila" Order Baru Soeharto, seluruhnya selama lebih dari empat dasawarsa? Dan, sanggupkah kita berpikir secara sungguh-sungguh dan mendalam, melihat jauh ke depan, mempersoalkan segala sesuatu yang telah disakralkan dan ditabukan oleh rezim-rezim otoriter demi kelangsungan kekuasaan mereka sendiri?

Beranikah kita "melawan arus"? Sanggupkah kita berjuang dan bekerja keras dengan berbagai pengorbanannya, demi masa depan bangsa ini? Itu merupakan perjuangan berat dan panjang ke arah suatu perubahan fundamental. Dan, setiap perubahan mengandung ketidakpastian. Tetapi, tanpa menempuh risiko itu, perubahan yang terjadi hanyalah perubahan ke arah lebih buruk.


Soedjati Djiwandono Analis Politik, Tinggal di Jakarta


URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/09/opini/546333.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar