Senin, 15 Juni 2009

Rakyat Bukan "Tumbal" Pembangunan


Oleh: Aloys Budi Purnomo



TIDAK beda dengan Orde Baru, Era Reformasi telah menampakkan wajah kebrutalan penguasa yang sewenang-wenang melukai hati rakyat sendiri yang miskin dan menderita! Rakyat menjadi "tumbal" pembangunan. Itulah salah satu aspek mengerikan yang diwariskan rezim Orde Baru dan disempurnakan Era Reformasi secara lebih sadis dan ironis!

Ironi itu kian jelas dalam kasus penggusuran yang akhir-akhir ini marak terjadi! Pada rezim Orde Baru , penggusuran masih dipermak dengan basa-basi "pembebasan tanah demi pembangunan". Kini penggusuran secara kasar dan brutal diprogramkan "antek-antek" Reformasi yang telah menjadi rezim lebih kejam terhadap rakyat yang seharunya dilindungi. Alih-alih dilindungi dan memperoleh kesejahteraan, mereka justru digusur, dilibas, ditindas, dan dipukuli!

Distorsi

Dalam praktik penggusuran yang marak terjadi hari-hari ini, kita menyaksikan terjadinya distorsi hakikat negara, pemerintah dan pemerintahan di negeri ini. Kita semua tahu, pada hakikatnya lembaga negara, pemerintah, dan pemerintahan dibentuk untuk menciptakan perikehidupan yang lebih adil, sejahtera, dan manusiawi. Reksa kesejahteraan bersama (common good) dan terjaminnya komunitas masyarakat yang adil (bonnum commune), yang mestinya menjadi tujuan negara dan dilaksanakan pemerintah, telah terdistorsi menjadi pengabaian dan penindasan terhadap rakyat!

Negara yang mestinya menjamin kesejahteraan rakyat sesuai UUD 1945 pun telah menjadi negara yang merampas dan menindas rakyat! Padahal, sebenarnya, justru ketika negara (bersama pemerintah dan pemerintahannya) berhasil memberi kepada rakyat dan menjaminnya, di sanalah negara memperoleh orisinalitas dan kelayakannya sebagai negara. Persis itulah dasar utama kewenangan negara, yakni menyejahterakan rakyat!

Bila yang terjadi sebaliknya, yakni penggusuran, penindasan, dan penganiayaan terhadap rakyat, negara tidak menegakkan kewenangannya, justru bertindak sewenang-wenang (arbitrary) dan menyalahgunakan kewenangannya! Dengan kata lain, para penguasa, elite politik dan pemerintahan negeri ini telah mengkhianati tugas utamanya untuk mewujudkan kepentingan bersama dalam sikap hormat terhadap kebebasan masyarakat yang mendamba kesejahteraan.

Dalam kasus penggusuran yang terjadi akhir-akhir ini, elite politik dan pemerintahan telah mendistorsi tanggung jawab luhur nan mulianya menjadi sebuah tindakan kejam dengan melulu memerintah berdasar ancaman dan intimidasi! Segala janji yang diumbar saat mereka meminta dukungan rakyat demi meraih kekuasaan telah menjadi janji palsu yang membuat hati kita pilu!

Secara tersamar, namun positif (hidden curriculum), bagi kita-rakyat-hal ini menjadi pendidikan dan perhatian yang baik menjelang Pemilu 2004 untuk lebih berhati-hati memilih wakilnya dan pemimpin bangsa. Tidak usah kita mudah tertipu janji-janji palsu! Jangan mudah terjebak bibir manis, namun penuh bisa yang mendatangkan sengsara bagi rakyat jelata! Sudah terbukti di Nusantara ini, mereka yang selama ini mengumbar janji palsu tidak akan mungkin mampu menegakkan kesejahteraan bersama, terutama bagi rakyat miskin dan menderita.

"Tumbal"


Praktik penggusuran rakyat yang dengan susah payah mengais remah-remah pembangunan di Ibu Kota mengisyaratkan munculnya pemahaman sesat mengenai "tumbal" pembangunan. Ingatlah para elite politik dan pemerintahan Indonesia, rakyat bukan "tumbal" pembangunan.

Alih-alih menjadikan rakyat sebagai "tumbal" pembangunan, mestinya segala proses politik dan upaya pembangunan di negeri ini ditujukan untuk mengatasi atau paling tidak mengurangi penderitaan manusiawi dalam semua bentuk dan dimensi, terutama bagi rakyat papa miskin jelata dan menderita! Dalam perspektif ini, penggusuran tidak bisa dibenarkan, apalagi disertai ancaman, intimidasi, dan tindakan kekerasan, baik secara fisik maupun mental!

Meminjam proses pemikiran dialektika negatif-nya Adorno, kita sepantasnya berteriak lantang, "Rakyat jangan terus dikorbankan!" " Janganlah rakyat dijadikan ’tumbal’ pembangunan!" "Janganlah rakyat terus dibohongi dan ditipu!" "Janganlah kita buta-dan-tuli terhadap penderitaan dan kesengsaraan mereka!"

Maka, seruan "Hentikan Penggusuran!" untuk kedua kali disampaikan Franz Magnis- Suseno secara blak-blakan dengan segenap empati serta preferensi terhadap dan bersama kaum miskin melalui harian ini perlu digemakan ke segala sudut persada Nusantara ini. Makin lantang diteriakkan, makin nyaring disuarakan, semoga seruan itu menjadi seruan profetik bagi para elite politik dan penguasa bangsa yang kian hari kian tidak mempunyai kepekaan terhadap kebutuhan rakyatnya sendiri.

Adalah tugas pemerintah dan penguasa untuk menegakkan hukum, tatanan sosial dan mereksa kesejahteraan rakyatnya sehingga rakyat terbebaskan dari penderitaan manusiawinya dan memperoleh hidup layak. Namun, pantas dicatat secara kritis atas dasar sikap bela rasa sehati seperasaan bersama yang menderita (compassionate), tindakan penggusuran yang agaknya menjadi program elite politik dan pemerintahan, maupun antek-anteknya (para pelaksana), kini telah menjadi cara-cara penindasan baru terhadap rakyat miskin! Sungguhpun dilakukan dengan itikad baik, namun praktik penggusuran telah melahirkan penderitaan baru bagi mereka yang menjadi korban! Mereka menjadi tumbal! Mereka hancur lebur, bukan hanya secara fisik, melainkan mental dan sosial!

Oleh karena itu, kita tidak hanya menyerukan agar praktik penggusuran dihentikan, tetapi perlulah para elite politik dan pemerintahan kita melakukan introspeksi, kritik diri, dan koreksi secara tepat dan cepat terhadap segala praktik penggusuran agar tidak mendatangkan bencana bagi kemanusiaan rakyat papa miskin! Solidaritas harus dijalin oleh semua pihak yang berkehendak baik untuk melawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan ini! Namun, pertama dan terutama, pemerintah bertanggung jawab memberikan kesejahteraan bagi mereka!

Memihak kaum miskin


Di Bumi Pertiwi ini, komitmen untuk memihak kaum miskin (preferential option for and with the poor) tampaknya menjadi sesuatu yang impossible dan unrealistic. Meski demikian, adalah imperatif bahwa kita sebagai bangsa yang melandaskan diri pada kemanusiaan yang adil dan beradab serta berkeadilan sosial memandang seluruh proses Reformasi yang dicita-citakan sejak 1998 dari sudut orang miskin. Mari kita menegakkan kembali komitmen Reformasi atas nama rakyat yang tertindas, korban penggusuran, korban perang di berbagai tempat, khususnya di Aceh dan Papua, korban bencana di Bohorok, korban ketidakadilan di Larantuka, maupun korban korupsi, kolusi dan nepotisme di seluruh hamparan negeri ini.

Inilah saatnya, kita menempatkan dunia orang miskin ke dalam hati dan jiwa kita demi kesejahteraan mereka. Karena negara beserta pemerintah dan pemerintahannya yang bertanggung jawab untuk itu tidak melaksanakan tugasnya secara baik, tidakkah ini merupakan isyarat bagi kita agar ke depan perlu kembali menegakkan daya kekuatan civil society yang tidak mudah terbuai oleh bujuk rayu dan permainan uang di saat pemilu?

Tidakkah praktik penggusuran yang kian biadab dan brutal itu harus segera dihadapi dengan solidaritas civil society atas nama mereka yang tergusur, tersingkir dan perjuangan kita bersama demi masa depan yang lebih adil, sejahtera dan manusiawi? Bila ini terjadi, meminjam dialektika Ignacio EllacurĂ­a, kisah kehidupan orang miskin negeri ini akan menjadi historisasi utopia akan kemenangan definitif keadilan atas ketidakadilan, cinta atas kebencian, kehidupan atas kematian, dan penggusuran atas perlindungan rakyat dan kesejahteraan mereka! Inilah social-political advocacy yang tidak bisa ditawar, yakni mewujudkan kehidupan sosial-politik sebagai ungkapan solidaritas kepada dan bersama kaum miskin dan menderita! Mereka bukan "tumbal" pembangunan, bukan tumbal Reformasi!

*Aloys Budi Purnomo Pr Rohaniwan, Rektor Seminari Tinggi St Petrus, Pematang Siantar

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0312/04/opini/717519.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar