Jumat, 26 Juni 2009

Mahkamah Konstitusi dan Pengkajian Undang-undang


Oleh: J Soedjati Djiwandono

SALAH satu wewenang MK adalah mengkaji atau menguji UU terhadap UUD (judicial review). Bab III, Pasal 1 Ayat (a) UU MK mengatakan, "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945"; dan seterusnya.

Adanya mekanisme pengkajian undang-undang sepintas lalu merupakan kemajuan dalam kehidupan kenegaraan kita, karena selama ini UUD 1945 tidak menyediakan sistem atau mekanisme seperti itu. Tetapi, masalahnya tidak semudah itu. Pengkajian undang-undang bisa merupakan dilema, dan hasilnya dapat bersifat kontra-produktif, karena itu justru berbahaya.

KESULITAN utama adalah justru UUD 1945, termasuk di dalamnya mukadimah yang berisi ideologi negara Pancasila yang seharusnya merupakan rumusan nilai dasar kehidupan bangsa dan negara, ditandai ketidakjelasan dan ambivalensi. Karena itu, UUD 1945 sulit dijadikan ukuran guna menguji berbagai bentuk perundangan dan peraturan negara pada berbagai tingkatan.

Dalam buku yang saya tulis tahun 1995, Setengah Abad Negara Pancasila: Tinjauan Kritis Ke Arah Pembaruan (hal 91), saya memakai istilah "yang bukan-bukan" untuk mengacu pada ketidakjelasan atau ambivalensi seperti itu. Bill Liddle memakai istilah incompleteness dan inbetweenness. Contoh yang paling menonjol adalah identitas RI yang dikatakan "bukan negara agama" (teokrasi), dan "bukan negara sekuler".

Sebagai bangsa, kita menghadapi permasalahan mendasar yang akan mempunyai implikasi serius bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara ini. Nilai-nilai apa saja yang sebenarnya mengikat kita semua yang berlatar belakang sempit dalam pengertian etnis, ras, keagamaan, budaya, bahasa, dan tradisi yang berbeda-beda, menjadi satu bangsa yang disebut "Indonesia". Apakah nilai itu nilai kemanusiaan universal seperti terkandung dalam cita-cita demokrasi: persamaan, keadilan, dan HAM, atau nilai sektarian, seperti keagamaan, etnis, tradisi kedaerahan, dan sebagainya?

Kemudian, kita menghadapi masalah hakikat negara RI yang berasaskan ideologi Pancasila seperti telah disinggung di muka. Istilah "sekuler" banyak disalahmengerti sebagai "antiagama", dan bukan sekadar "antiintervensi negara dalam agama atau masalah internal agama". Sebab itu, pemisahan antara agama dan negara (politik) umumnya ditolak. Tetapi, tidak pernah jelas di mana peran agama. Apakah hukum agama bisa menjadi sumber hukum negara, dan dalam hal apa?

KITA juga menghadapi masalah mendasar dalam kehidupan berdemokrasi, khususnya yang menyangkut hubungan mayoritas-minoritas yang rancu. Sebenarnya, pengambilan keputusan melalui pemungutan suara/voting sebagai mekanisme demokrasi yang akan dimenangkan oleh suara mayoritas adalah wajar dan sah. Tetapi, dapatkah mayoritas memaksakan kehendaknya melalui voting atau "tanpa voting", yang intinya adalah pemaksaan kehendak mayoritas, ketika keputusan itu menyangkut masalah mendasar, yang bertentangan dengan salah satu nilai kemanusiaan yang fundamental, sehingga praktis yang terjadi adalah tirani mayoritas? Inilah yang terjadi pada UU Sisdiknas belum lama berselang.

Sementara itu, dapat diduga adanya begitu banyak hukum, undang-undang, peraturan pemerintah, keppres, dan sebagainya, yang jika diuji atas dasar UUD 1945 ternyata tidak sesuai benar atau bahkan bertentangan dengan UUD 1945, termasuk mukadimahnya, yang berisi ideologi Pancasila, meski istilah "Pancasila" tidak digunakan dalam UUD 1945. Selama ini, tidak satu pun dari semuanya itu pernah diuji konsistensinya atau kesesuaiannya dengan UUD, meski semuanya diaku sebagai berdasarkan UUD 1945.

Akan tetapi, sebelum sebagai bangsa mencapai konsensus tentang nilai-nilai mendasar yang mengikat kita sebagai bangsa dan negara, mekanisme pengkajian UU tidak akan bermakna. Saya tidak bosan-bosannya mengambil contoh UU Perkawinan, karena meski jelas-jelas melanggar hak asasi, belum pernah dikaji terhadap UUD.

UU itu mengandung ketentuan, orang harus menikah "menurut agama masing-masing". Secara implisit, ketentuan ini mewajibkan orang beragama, kecuali bila dia ingin hidup tidak menikah sepanjang hidupnya. Ini jelas bertentangan dengan kebebasan beragama yang dijamin UUD 1945. Seolah-olah para politisi pembuat UU ini tidak memahami perbedaan antara hak dan kewajiban.

Ketentuan itu tidak hanya secara implisit "mewajibkan agama", yang berarti menanamkan benih kemunafikan, karena jika perlu orang harus mengaku beragama, meski dalam hati dia tidak percaya. Ketentuan itu juga mempersulit, bahkan tidak memungkinkan perkawinan antara dua orang yang berlainan agama.

Namun, dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru saja dibentuk, kelihatannya akan sulit mengusahakan pengkajian atas UU Perkawinan. UU tentang Mahkamah Konstitusi menentukan dalam Pasal 51 Ayat (1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; dan seterusnya.

Dalam hal UU Perkawinan, kapan pemohon dapat mengajukan pengkajian atas UU Perkawinan karena hak akan kebebasan beragamanya dilanggar, sebelum atau setelah nikah? Jika sebelumnya, apakah pemohon harus menunggu/menangguhkan pernikahannya, meski permohonannya akhirnya dikabulkan, tetapi dalam waktu berapa lama? Atau apakah dia dapat mengajukan permohonan itu setelah pernikahan, yang berarti mungkin perkawinannya ternyata tidak sah andaikata permohonannya dikabulkan sesudahnya? Tidakkah suatu lembaga negara, perseorangan, kelompok orang, partai, atau ormas, atau siapa pun, yang melihat atau menyadari adanya ketentuan hukum, atau perundangan, atau peraturan pemerintah yang melanggar hak asasi siapa pun dapat mengajukan permohonan atas kajian ketentuan seperti itu?

UU MK juga mengandung ketentuan yang tidak jelas maknanya, meski mungkin tidak akan menimbulkan kesulitan berarti, yaitu Pasal 48 Ayat (1) Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat: a. kepala putusan berbunyi: "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"; Selain tidak jelas maksudnya, suatu keputusan yang mungkin saja tidak sesuai dengan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa justru akan merupakan penghinaan terhadap Tuhan. Bagaimana menilainya? Mengapa kita gemar ungkapan yang tidak bermakna dan munafik? Bagaimana bila UU tentang MK itu sendiri cacat hukum?

BERBAGAI masalah telah menimbulkan kesulitan dan penderitaan dalam hidup banyak orang karena adanya perundang-undangan dan berbagai peraturan yang tidak membedakan antara hak dan kewajiban seperti UU Sisdiknas atau yang bersifat diskriminatif dalam pengertian agama atau rasial. Ketentuan seperti itu, dalam hukum, perundangan atau peraturan pemerintah perlu ditinjau ulang, diuji dan dikaji, dan jika terbukti bertentangan dengan nilai dasar kemanusiaan, harus dinyatakan batal demi hukum dan diganti dengan yang benar.

Suatu mekanisme pengkajian undang-undang mendesak kita perlukan. Tetapi, masalah itu bisa merupakan dilema. Suatu konsensus nasional perlu dikembangkan tentang nilai dasar sedemikian sehingga lama- kelamaan orang menghayatinya secara tidak sadar lagi sebagai bagian cara hidup seperti di negara-negara Barat yang sudah maju, misalnya Inggris dan AS.

Ini akan merupakan proses jangka panjang melalui sederet hukum dan sistem perundangan maupun peraturan pemerintah/negara yang didasarkan pada nilai kemanusiaan universal dan terbuka terhadap ujian dan kajian atas dasar UUD, yang terus memerlukan amandemen atau diganti menurut tuntutan zaman. Bahkan, jika perlu, ideologi negara, yang tidak lebih dari rumusan cita-cita bangsa, perlu diganti.

Sila pertama ideologi Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, kalaupun tidak secara terbuka, telah selalu menimbulkan kontroversi. Sebagian orang memahaminya sebagai perlindungan atas kebebasan beragama, tetapi sebagian lagi memahaminya sebagai kewajiban beragama, seakan-akan kepercayaan kepada Tuhan harus melalui agama, dan agama harus memiliki kitab suci. Lalu agama berarti agama yang diakui, padahal agama tidak memerlukan pengakuan negara.

Merupakan mitos bahwa seakan-akan sila Ketuhanan YME itu mempersatukan berbagai agama. Kenyataannya, sila itu telah menjadi sumber konflik antarumat beragama sejak sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia.

DALAM suatu seminar tentang RUU Sisdiknas, yang telah disahkan sebagai UU, seorang tokoh Islam mengusulkan agar Kemanusiaan diletakkan sebagai sila pertama. Suatu gagasan yang konstruktif, karena kemanusiaan telah meliputi sila-sila yang lain. Tetapi, bagi saya, cita-cita demokrasi telah mencakup kelima sila ideologi Pancasila itu.

Masalahnya kini, apakah kita bersedia, berani, dan mampu membebaskan diri dari berbagai kungkungan cara pikir usang setelah mengalami usaha pembekuan dan pembodohan terutama melalui "indoktrinasi" di bawah "demokrasi terpimpin" Soekarno hingga "penataran P-4 "ala demokrasi Pancasila" Order Baru Soeharto, seluruhnya selama lebih dari empat dasawarsa? Dan, sanggupkah kita berpikir secara sungguh-sungguh dan mendalam, melihat jauh ke depan, mempersoalkan segala sesuatu yang telah disakralkan dan ditabukan oleh rezim-rezim otoriter demi kelangsungan kekuasaan mereka sendiri?

Beranikah kita "melawan arus"? Sanggupkah kita berjuang dan bekerja keras dengan berbagai pengorbanannya, demi masa depan bangsa ini? Itu merupakan perjuangan berat dan panjang ke arah suatu perubahan fundamental. Dan, setiap perubahan mengandung ketidakpastian. Tetapi, tanpa menempuh risiko itu, perubahan yang terjadi hanyalah perubahan ke arah lebih buruk.


Soedjati Djiwandono Analis Politik, Tinggal di Jakarta


URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/09/opini/546333.htm

Senin, 15 Juni 2009

Rakyat Bukan "Tumbal" Pembangunan


Oleh: Aloys Budi Purnomo



TIDAK beda dengan Orde Baru, Era Reformasi telah menampakkan wajah kebrutalan penguasa yang sewenang-wenang melukai hati rakyat sendiri yang miskin dan menderita! Rakyat menjadi "tumbal" pembangunan. Itulah salah satu aspek mengerikan yang diwariskan rezim Orde Baru dan disempurnakan Era Reformasi secara lebih sadis dan ironis!

Ironi itu kian jelas dalam kasus penggusuran yang akhir-akhir ini marak terjadi! Pada rezim Orde Baru , penggusuran masih dipermak dengan basa-basi "pembebasan tanah demi pembangunan". Kini penggusuran secara kasar dan brutal diprogramkan "antek-antek" Reformasi yang telah menjadi rezim lebih kejam terhadap rakyat yang seharunya dilindungi. Alih-alih dilindungi dan memperoleh kesejahteraan, mereka justru digusur, dilibas, ditindas, dan dipukuli!

Distorsi

Dalam praktik penggusuran yang marak terjadi hari-hari ini, kita menyaksikan terjadinya distorsi hakikat negara, pemerintah dan pemerintahan di negeri ini. Kita semua tahu, pada hakikatnya lembaga negara, pemerintah, dan pemerintahan dibentuk untuk menciptakan perikehidupan yang lebih adil, sejahtera, dan manusiawi. Reksa kesejahteraan bersama (common good) dan terjaminnya komunitas masyarakat yang adil (bonnum commune), yang mestinya menjadi tujuan negara dan dilaksanakan pemerintah, telah terdistorsi menjadi pengabaian dan penindasan terhadap rakyat!

Negara yang mestinya menjamin kesejahteraan rakyat sesuai UUD 1945 pun telah menjadi negara yang merampas dan menindas rakyat! Padahal, sebenarnya, justru ketika negara (bersama pemerintah dan pemerintahannya) berhasil memberi kepada rakyat dan menjaminnya, di sanalah negara memperoleh orisinalitas dan kelayakannya sebagai negara. Persis itulah dasar utama kewenangan negara, yakni menyejahterakan rakyat!

Bila yang terjadi sebaliknya, yakni penggusuran, penindasan, dan penganiayaan terhadap rakyat, negara tidak menegakkan kewenangannya, justru bertindak sewenang-wenang (arbitrary) dan menyalahgunakan kewenangannya! Dengan kata lain, para penguasa, elite politik dan pemerintahan negeri ini telah mengkhianati tugas utamanya untuk mewujudkan kepentingan bersama dalam sikap hormat terhadap kebebasan masyarakat yang mendamba kesejahteraan.

Dalam kasus penggusuran yang terjadi akhir-akhir ini, elite politik dan pemerintahan telah mendistorsi tanggung jawab luhur nan mulianya menjadi sebuah tindakan kejam dengan melulu memerintah berdasar ancaman dan intimidasi! Segala janji yang diumbar saat mereka meminta dukungan rakyat demi meraih kekuasaan telah menjadi janji palsu yang membuat hati kita pilu!

Secara tersamar, namun positif (hidden curriculum), bagi kita-rakyat-hal ini menjadi pendidikan dan perhatian yang baik menjelang Pemilu 2004 untuk lebih berhati-hati memilih wakilnya dan pemimpin bangsa. Tidak usah kita mudah tertipu janji-janji palsu! Jangan mudah terjebak bibir manis, namun penuh bisa yang mendatangkan sengsara bagi rakyat jelata! Sudah terbukti di Nusantara ini, mereka yang selama ini mengumbar janji palsu tidak akan mungkin mampu menegakkan kesejahteraan bersama, terutama bagi rakyat miskin dan menderita.

"Tumbal"


Praktik penggusuran rakyat yang dengan susah payah mengais remah-remah pembangunan di Ibu Kota mengisyaratkan munculnya pemahaman sesat mengenai "tumbal" pembangunan. Ingatlah para elite politik dan pemerintahan Indonesia, rakyat bukan "tumbal" pembangunan.

Alih-alih menjadikan rakyat sebagai "tumbal" pembangunan, mestinya segala proses politik dan upaya pembangunan di negeri ini ditujukan untuk mengatasi atau paling tidak mengurangi penderitaan manusiawi dalam semua bentuk dan dimensi, terutama bagi rakyat papa miskin jelata dan menderita! Dalam perspektif ini, penggusuran tidak bisa dibenarkan, apalagi disertai ancaman, intimidasi, dan tindakan kekerasan, baik secara fisik maupun mental!

Meminjam proses pemikiran dialektika negatif-nya Adorno, kita sepantasnya berteriak lantang, "Rakyat jangan terus dikorbankan!" " Janganlah rakyat dijadikan ’tumbal’ pembangunan!" "Janganlah rakyat terus dibohongi dan ditipu!" "Janganlah kita buta-dan-tuli terhadap penderitaan dan kesengsaraan mereka!"

Maka, seruan "Hentikan Penggusuran!" untuk kedua kali disampaikan Franz Magnis- Suseno secara blak-blakan dengan segenap empati serta preferensi terhadap dan bersama kaum miskin melalui harian ini perlu digemakan ke segala sudut persada Nusantara ini. Makin lantang diteriakkan, makin nyaring disuarakan, semoga seruan itu menjadi seruan profetik bagi para elite politik dan penguasa bangsa yang kian hari kian tidak mempunyai kepekaan terhadap kebutuhan rakyatnya sendiri.

Adalah tugas pemerintah dan penguasa untuk menegakkan hukum, tatanan sosial dan mereksa kesejahteraan rakyatnya sehingga rakyat terbebaskan dari penderitaan manusiawinya dan memperoleh hidup layak. Namun, pantas dicatat secara kritis atas dasar sikap bela rasa sehati seperasaan bersama yang menderita (compassionate), tindakan penggusuran yang agaknya menjadi program elite politik dan pemerintahan, maupun antek-anteknya (para pelaksana), kini telah menjadi cara-cara penindasan baru terhadap rakyat miskin! Sungguhpun dilakukan dengan itikad baik, namun praktik penggusuran telah melahirkan penderitaan baru bagi mereka yang menjadi korban! Mereka menjadi tumbal! Mereka hancur lebur, bukan hanya secara fisik, melainkan mental dan sosial!

Oleh karena itu, kita tidak hanya menyerukan agar praktik penggusuran dihentikan, tetapi perlulah para elite politik dan pemerintahan kita melakukan introspeksi, kritik diri, dan koreksi secara tepat dan cepat terhadap segala praktik penggusuran agar tidak mendatangkan bencana bagi kemanusiaan rakyat papa miskin! Solidaritas harus dijalin oleh semua pihak yang berkehendak baik untuk melawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan ini! Namun, pertama dan terutama, pemerintah bertanggung jawab memberikan kesejahteraan bagi mereka!

Memihak kaum miskin


Di Bumi Pertiwi ini, komitmen untuk memihak kaum miskin (preferential option for and with the poor) tampaknya menjadi sesuatu yang impossible dan unrealistic. Meski demikian, adalah imperatif bahwa kita sebagai bangsa yang melandaskan diri pada kemanusiaan yang adil dan beradab serta berkeadilan sosial memandang seluruh proses Reformasi yang dicita-citakan sejak 1998 dari sudut orang miskin. Mari kita menegakkan kembali komitmen Reformasi atas nama rakyat yang tertindas, korban penggusuran, korban perang di berbagai tempat, khususnya di Aceh dan Papua, korban bencana di Bohorok, korban ketidakadilan di Larantuka, maupun korban korupsi, kolusi dan nepotisme di seluruh hamparan negeri ini.

Inilah saatnya, kita menempatkan dunia orang miskin ke dalam hati dan jiwa kita demi kesejahteraan mereka. Karena negara beserta pemerintah dan pemerintahannya yang bertanggung jawab untuk itu tidak melaksanakan tugasnya secara baik, tidakkah ini merupakan isyarat bagi kita agar ke depan perlu kembali menegakkan daya kekuatan civil society yang tidak mudah terbuai oleh bujuk rayu dan permainan uang di saat pemilu?

Tidakkah praktik penggusuran yang kian biadab dan brutal itu harus segera dihadapi dengan solidaritas civil society atas nama mereka yang tergusur, tersingkir dan perjuangan kita bersama demi masa depan yang lebih adil, sejahtera dan manusiawi? Bila ini terjadi, meminjam dialektika Ignacio EllacurĂ­a, kisah kehidupan orang miskin negeri ini akan menjadi historisasi utopia akan kemenangan definitif keadilan atas ketidakadilan, cinta atas kebencian, kehidupan atas kematian, dan penggusuran atas perlindungan rakyat dan kesejahteraan mereka! Inilah social-political advocacy yang tidak bisa ditawar, yakni mewujudkan kehidupan sosial-politik sebagai ungkapan solidaritas kepada dan bersama kaum miskin dan menderita! Mereka bukan "tumbal" pembangunan, bukan tumbal Reformasi!

*Aloys Budi Purnomo Pr Rohaniwan, Rektor Seminari Tinggi St Petrus, Pematang Siantar

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0312/04/opini/717519.htm

Minggu, 14 Juni 2009

Dialog Kebangsaan dan Nasionalisme


Pancasila sejak awal orde reformasi mengalami sebuah pengambangan makna yang radik. Indikasinya adalah massifnya kekuranganpahaman para generasi baru saat ini dalam mengenal dan memaknai arti Pancasila, distorsi ini merata di seluruh Indonesia. Pancasila sebagai infrastruktur fundamental keberadaan Indonesia sebagai bangsa dan Negara perlu direvitalisasi sebagai elan vital agar mampu merekatkan kembali serpih-serpih ketimpangan-ketimpangan ekonomi, politik, sosial, rasa primordialistis dan komunalistik yang terjadi dalam konteks kekinian. Jika tidak, bukan tidak mungkin ramalan ahli-ahli dunia bahwa Indonesia di 2020 akan memasuki golden age, yang mana bahwa Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan dunia baru hanyalah sebuah jargon kosong dan atau prediksi yang paling hitam dan pekat adalah Indonesia hanya tinggal kenangan. Pertanyaannya sekarang adalah masih saktikah Pancasila? Mampukah bangsa ini untuk keluar krisis multidimensi yang terjadi akibat sekat-sekat sosial, ekonomi,politik dan agama?

Jawaban terbaiknya adalah mengembalikan pancasila pada posisinya semula sebagai elan vital bangsa dan bukan hanya sebagai sebuah ideologi yang dimitoskan, dikultuskan tapi sebaliknya menjadikanya sebagai ideologi terbuka. Tetapi tidak hanya pada tataran itu, pun sebagai sebuah sistem ilmu pengetahuan, yang mana dijadikan sebagai rujukan dan tolak ukur dari penyelenggaraan bangsa dan Negara menuju bangsa dan Negara yang berkesejahteraan sesuai cita-cita luhur founding fathers bangsa ini dan tidak merujuk pada imperialisme atau neo-liberalisme atau kapitalisme atau fundamentalisme agama yang sempit dalam menyelenggarakan bangsa dan negara. Jika ingin membawa bangsa ini keluar dari carut-marut permasalahan yang mendekap erat bangsa ini jalan-nya adalan perkokoh pondasi keberadaan keindonesiaan kita sebagai sebuah bangsa yang satu, yaitu “PANCASILA” dan respect yang sungguh terhadap nilai-nilai budaya luhur lagi adi luhung bangsa Indonesia dan bukan mengikisnya sehingga tinggal serpihan-serpihan kecil yang tecerai berai dan yang tidak berguna. Padahal kalau ditilik lebih jauh sesungguhnya Pancasila adalah sesuatu kekuatan ideology dunia baru atau sebuah paradigma baru dunia yang nantinya membawa dunia atau menjembatani dunia menuju millennium 3000.

Memandang dan menyikapi bahwa Pancasila adalah pusat orientasi strategis, fundamental dan perekat keindonesiaan kita, maka pada tanggal 13 Mei 2009 diselenggarakan sebuah diskusi panel atau dialog kebangsaan dan nasionalisme dengan tema “Penguatan Semangat Nasionalisme Dan Kebangsaan Generasi Muda Dengan Menanamkan Kecintaan Terhadap Budaya dan Sejarah Bangsa” di Arena Budaya Universitas Mataram yang diselenggarakan oleh Aliansi Kebangsaan Pemuda Indonesia. Anggota-anggota aliansi terdiri dari beberapa organisasi Kemasyarakatan Pemuda yang sekeprihatinan dan se-visi terhadap keadaan dan kondisi bangsa ini yaitu PMKRI Cabang Mataram, PMII Cabang Mataram, KMHDI NTB, GMKI Cabang Mataram, Hikma Budhis Mataram, Darma Duta, Green Movement, Lensa NTB, dan SDK. Pembicara-nya adalah Bpk Prof. Dr. Jati Kusumo (Budayawan dan eks. Anggota DPR-MPR), Jalaludin Arzaki (Budayawan NTB) dan Drs. L. Anggawa Nuraksi,MM (Kepala Inspektorat Kota Mataram dan Budayawan Sasak). Ketua Panitia Kolektif-kolegial penyelenggara dialog ini adalah Muhammad Jayadi (eks Ketua Umum PMII cabang Mataram) dan Sekretaris Panitia adalah Yustinus Ghanggo Ate (Ketua Presidium PMKRI cabang Mataram). Peserta dialog ini berasal dari berbagai elemen baik pemerintah provinsi NTB, Pemerintah Kotamadya Mataram, LSM-LSM, Ormas-Ormas, Media elektronik dan media cetak dan BEM-BEM Universitas, Institut, Sekolah Tinggi dan Akademi se-kota Mataram.

Bentuk komitmen kaum muda dalam membadankan cinta kepada Ibu Pertiwi dan Cintakepada Negara adalah dengan berikrar untuk tetap menjaga dan berpegang teguh pada lima pilar utama bangsa dan Negara INDONESIA yaitu: Bendera Merah Putih, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Ikrar tersebut ditandatangani oleh Tokoh-Tokoh baik dari Pemerintah Provinsi, Militer, Agama dan Masyarakat dan segenap elemen-elemen yang bergabung dalam Aliansi Kebangsaan dan Pemuda Indonesia. Ikrar ini, juga akan dikirim keseluruh kepala daerah tingkat II di NTB, Gubernur Provinsi NTB dan Presiden Republik Indonesia. Selain sebagai bentuk pernyataan sikap, pun untuk menyadarkan atau mengingatkan kembali Pemerintah baik daerah dan pusat agar lebih memaknai lima pilar diatas dengan lebih mementingkan bangsa dari pada kepentingan partai pendukung, golongan, suku dan pribadi. Dengan adanya dialog ini diharapkan bahwa rasa sebagai satu bangsa dan satu tanah air semakin mengkristal dalam diri setiap orang muda yang akan menjadi agen perubah di masa datang bukan generasi penerus kebobrokan sistem hari ini dan semua elemen bangsa ini terkhusus yang berada pada lingkaran dalam dari sistem. Semoga…Pro Patria!!!

Yustinus Ghanggo Ate, Ketua PMKRI Cabang Mataram Periode 2009-2010

Tepat pada hari raya Pantekosta, minggu 31 Mei 2009, hari bersejarah dan penuh makna bagi PMKRI secara nasional, Saudara Yustinus Ghanggo Ate anggota biasa PMKRI Cabang Mataram-Sanctus Thomas Aquinas dilantik sebagai Mandataris RUAC/Formatur Tunggal/Ketua Presidium PMKRI Cabang Mataram Periode 2009-2010 menggantikan Saudara Anselmus Ngando, Mandataris RUAC/Formatur Tunggal/Ketua Presidium PMKRI Cabang Mataram Periode 2008-2009. Dalam kata sambutannya Ketua Presidium terpilih menekankan tentang perlunya kaderisasi prepatoris dan antisipatoris, pembinaan yang berorientasi masa depan dan dititikberatkan tiga poin utama: pertama, penguatan intelektualitas, demi meretas kader pemikir dan imaginative; Kedua, Penguatan spritualitas Katholik agar kader yang tidak hanya mampu menghayati spiritual pada aras ritualistic-formalistik-legalistik sehingga tidak berbuah manusia yang tidak beretika dan beriman dangkal tapi sebaliknya dan berpihak atas dasar kasih; ketiga, Pengokokohan solidaritas organisasi demi meretas solidaritas sosial/fratenitas. Membangun kepekaan dan rasa persaudaraan yang sejati antar anggota, dimana habitus yang baik ini jika membadan efeknya baik sekali jika berada dalam ruang sosial yang lebih luas. Sehingga dimasa depan kita tidak terjembrab lagi pada perilaku menyimpang yang sama dari elit-elit bangsa hari ini yang cendrung menikmat pada ruang diri bukan bagi kepentingan yang lebih besar yaitu bangsa ini dan dengan demikian kita mampu menelurkan kader-kader yang memaknai kepemimpinan sebagai tindakan, bukan posisi atau jabatan seperti yang dikatakan oleh Donald MacGronnon, yang bermuara pada “Terwujudnya Keadilan Sosial,Kemanusiaan dan Persaudaraan Sejati”. Dalam kesempatan ini juga Ketua Presidium mengatakan bahwa berbicara tentang PMKRI adalah berbicara tentang masa depan diri, bangsa dan gereja dan mengajak untuk belajar dan berproses memanusia. Pelantikan ini dilaksanakan di Aula SMPK Kesuma Mataram-NTB dan dipersiapkan dengan baik oleh ketua Panitia Pelaksana, Saudara Fransisikus X. Didion, dan jajaran kepanitiaannya.

Pelantikan ini diawali oleh misa yang dipimpin oleh Pator moderator PMKRI cabang Mataram, Romo Yohanes Kadek Aryana, Pr. Sidang Kehormatan Pelantikan ini dihadiri pula oleh rekan-rekan KMHDI NTB dan PMII Mataram serta kakak-kakak alumni, Ir. Edi Fernandes, MP dan Hohorius MD. Balela. Tanpa disengaja, momentum pelantikan ini sungguh bersejarah dan penuh makna karena tepat pada hari raya Roh Kudus turun atas Para Rasul. Mengapa bersejarah? Hari lahir PMKRI Nasional bertepatan dengan hari Pantekosta, yang mana tidak lepas dari campur tangan Monsigneur Soegijapranata, Sj., Uskup Semarang dan Pahlawan Nasional RI. Alasan beliau menetapkan tanggal tersebut adalah sebagi simbol turunnya roh ketiga dari Tri Tunggal Maha Kudus yaitu Roh Kudus kepada para mahasiswa Katholik untuk berkumpul dan berjuang dengan landasan ajaran agama Katholik, membela, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selamat bertugas Ketua Presidium yang baru, semoga sungguh-sungguh menjadi Servus Servorum Dei (hamba dari para hamba) seperti yang dikatakan Paus Yohanes XXIII, pionir konsili Vatikan II.
“PRO ECCLESIA ET PATRIA!!!”

PMKRI Cabang Mataram Sanctus Thomas Aquinas great thanks to:


Pater Deken Dekenat NTB, P. Rosarius Geli, SVD
Bpk. Danrem 162/Wirabakti, Kolenel TNI AY. Purwoko Bakti
Pemerintah Kota Mataram
Pastor Moderator PMKRI Cabang Mataram, Rm. Yohanes Kadek Aryana,Pr.
Donator-Donator
Kakak-Kakak Alumni PMKRI Cabang Mataram

Atas perhatiannya yang begitu besar bagi pembangunan intelektulitas, katholisitas dan fratenitas manusia perhimpunan baik secara moral maupun materil khususnya dalam menyelenggarakan kegiatan MPAB-MABIM, RUAC dan Pelantikan Pengurus DPC Periode 2009-2010. Apa yang ditabur hari ini tidaklah sia-sia karena tuaian-nya dimasa depan adalah baik demi mewarnai ke-Indonesia-an kita dan Gereja menjadi lebih baik.

Rapat Umum Anggota Cabang (RUAC) ke-XXI Perhimpunan Mahasiwa Katholik Republik (PMKRI) Cabang Mataram-Sanctus Thomas Aqunas

Rapat Umum Anggota Cabang (RUAC) merupakan lembaga kekuasaan tertinggi di Perhimpunan tingkat cabang atau merupakan sebuah lembaga legislative tertinggii tingkat cabang dan diselenggarakan sekali dalam satu tahun. Yang dirancang dan digarap dalam Sidang RUAC adalah isu-isu strategis yang menentukan masa depan perhimpunan dimasa datang demikian kata Ketua Panitia Pelaksana RUAC, Antonius Damianus Mahemba dalam laporannya pada Sidang Kehormatan Pembukaan RUAC. Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh Ketua Presidium PMKRI Cabang Mataram, Anselmus Ngando dan Maarif, Ketua HMI Cabang Mataram, dalam sambutannya mewakili OKP-OKP yang hadir antara lain Sahabat-sahabat dari PMII Cabang Mataram dan HMI Cabang Mataram, yaitu bahwa RUAC memilik peran yang sangat strategis dan mempunyai fungsi evaluasi masa satu kepengurusan DPC. Pada Sidang Kehormatan ini Kepala Bimas Katholik Kanwil Depag NTB, Drs Benidiktus Haro, MP.d ikut hadir untuk membuka RUAC secara resmi. Pun hadir Alumni PMKRI Cabang Mataram, Abang Drs. Petrus Leksi, Fungsionaris Golkar DPD I NTB dan Pelati PS Mataram untuk memberi dukungan moral kepada kader pembelajar.

RUAC yang bertemakan “Peningkatan Kaderisasi dalam Mewujudkan Integritas Organisasi ini dimulai pada tanggal 9 Mei 2009, dimana sidangnya dilangsungkan di Aula SMPK St. Antonius, Ampenan, Mataram,NTB. Agenda yang diusung adalah pembahasan draft Anggaran Rumah Tangga Cabang (ARTC), Pembahasan Kertas Kerja Presidium-presidium, Sidang komisi-komisi, LPJ dan Pemilihan Mandataris RUAC/Formatur Tunggal/Ketua Presidium Periode 2009-2010. RUAC ke-XXI ini membuahkan TAP-TAP salah satunya adalah terpilihnya saudara Yustinus Ghanggo Ate, anggota biasa PMKRI cabang Mataram sebagai Mandataris RUAC/Formatur Tunggal/Ketua Presidium PMKRI Cabang PMKRI periode 2009-2010. Pada hari Minggu tanggal 10 Mei 2009 RUAC ditutup. Pastor Moderator PMKRI Cabang Mataram, Romo Yohanes Kadek Aryana, Pr., pada sidang Kehormatan penutupan RUAC mengatakan bahwa PMKRI cabang Mataram harus sungguh mau belajar untuk bertumbuh demi Negara dan Gereja di masa datang. Semoga buah-buah RUAC sungguh dapat memberi perubahan bagi PMKRI Mataram sebagai wadah candradimuka pembinaan dan perjuangan “Pro Bono Publico!!!”

Rabu, 27 Mei 2009

BERPOLITIK???SIAPA TAKUT

Yudas seorang mahasiswa di salah satu PT ternama dikotanya. Suatu pagi sambil menunggu jam mata kuliah, ia membaca surat kabar yang ada di depan ruang dosen, selain Yudas tidak banyak teman-temannya yang berminat membaca koran, maklumlah Yudas seorang penggemar bola nomor wahid. Penggemar chelsea itu tidak pernah ketinggalan berita tentang jadwal pertandingan, perkiraan formasi dan prediksi pertandingan yang akan disiarkan nanti malam. Yudas tampak begitu bersemangat, karena koran pagi itu menurunkan berita tentang persiapan chelsea yang akan berlaga melawan musuh bebuyutannya arsenal. Derby london terpanas yang memang ditunggu-tunggu para penggemar sepak bola diseluruh dunia. Tak disadari ketika Yudas lagi asyik membaca, ternyata Pak Terry, dosen filsafat juga sedang asyik membaca koran juga. Pak Terry sedang asyik menikmati berita tentang perkembangan pemilu.
“ ah, bola lagi, bola lagi… sesekali baca berita politik dong supaya wawasanmu luas” begitu pakTerry menyapa Yudas. “sama saja pak, sepak bola juga politik” jawab Yudas sambil terus melanjutkan bacaannya.
“lho? Apa hubungannya politik dengan sepak bola?? Jangan ngawur kamu das” sela pak terry heran.
“dalam sepak bola ada strategi dan taktik untuk menjebol gawang lawan. Itu politik bukan?? Asyiknya lagi, pertandingan sepak bola menjunjung tinggi fair play. Kalau tim kesayangan kita kalah, kita harus sportif pak! Beda dengan politik, pihak yang kalah sering kali tidak menerima kekalahan. Makanya pak, saya lebih suka sepak bola daripada politik” jelas Yudas bersemangat.


Mengapa anak muda dan remaja jaman sekarang kurang paham, bahkan kurang menyukai politik?? Cerita diatas mungkin bisa menjadi jawaban dari pertanyaan itu. Yudas lebih menggemari keganasan Drogba dalam menyerang ketimbang mengidolakan Amien Rais yang juga lihai dalam menyampaikan orasi politik.

Barangkali karena setiap politik di bicarakan, yang selalu tergambar dalam pikiran mereka adalah sederetan nama partai dan tokoh-tokoh politik yang tidak memenuhi cita-cita ideal anak-anak muda. Di mata mereka, ada kesan seolah-olah politik tak lebih dari sekedar medan laga perebutan kekuasaan dan kedudukan yang tujuannya sama sekali tidak berhubungan dengan kepentingan umum, lebih khususnya kepentingan kaum muda yang sangat haus akan pencarian nilai-nilai kebenaran. Anak-anak muda jaman sekarang tidak menemukan nilai-nilai kebenaran yang mereka inginkan dalam berbagai aktivitas politik di Indonsia dewasa ini. Lagi pula, belakangan ini terungkap berbagai skandal kehidupan pribadi sejumlah politisi, yang dalam waktu singkat sudah menjadi rahasia umum. Tentu saja, perilaku politisi yang tidak senonoh semacam ini makin menjauhkan politik dari perhatian generasi muda. Tokoh-tokoh politik seharusnya menjadi teladan dan panutan bagi kaum muda, bukannya malah memberikan contoh yang tidak baik, bukan?

Memang akan sulit mengubah tabi’at dan perilaku para politisi agar menjadi panutan anak-anak muda bila para politisi itu sendiri masih keliru dalam memahami ari politik. Arti politik yang sebenarnya harus diluruskan dan diperbincangkan kembali, agar tindak-tanduk aktivitas politik mereka dapat berubah.

Sebenarnya, orang yang paling apolitis (orang yang tidak peduli kepada politik) pun, dalam kehidupan sehari-hari terlibat dalam politik. Misalnya dilingkungan keluarga, biasa terjadi persaingan diantara anak-anak untuk mendapat perhatian dari orang tua. Sebenarnya diantar anak-anak itu ada persaingan kekuatan untuk merebut perhatian. Cara-cara yang mereka lakukan pun ada persamaannya dengan cara-cara politik. Begitpun pula dengan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap warga negara harus ambil bagian dlam prose politik. Bila tidak, mereka akan kehilangan hak. Kebijakan-kebijakan pemerintah bisa saja mengabaikan kepentingan meraka, tidak membal hak-hak mereka, sebab meraka tidak ikut melakuan pemilihan.

Saat ini, semangat demokratisasi sedang bergulir. Masing-masing daerah sedang sibuk memilih Walikota, Bupati, Gubernur, dan baru saja pemilihan caleg yang kemudian akan diikuti pilpres yang rencananya akan dilakukan bulan juli nanti.
Lantas apa yang perlu dilakukan anak muda ??? terjun ke dunia politik tentunya, jangan ragu! Pemilihan kepala daerah sudah mulai menunjukan hal-hal yang menggembirakan. Basuki Tjahya Purnama alias A Hok, anak muda keturunan Tionghoa berusia 35 tahun, beragama katolik terpilih menjadi Bupati Belitung Timur yang mayoritas penduduknya beragama Islam. A Hok kemudian mencalonkan diri sebagai Gubernur Bangka Belitung. Meskipun A Hok kemudian kalah tipis dalam pemilihan itu, tapi ini membuktikan bahwa warga negara minoritas juga berhak dan mampu bersaing dalam pemilihan kepala daerah.



Ada pula kisah sukses Gamawan Fauzi, Bupati Solok, (Sumbar) selama dua periode dan sekarang terpilih menjadi Gubernur Sumatera Barat. Di mata masyarakat Sumatera Barat, Gamawan Fauzi adalah sosok pribadi yang cakap, jujur, dan bersih. Meski tidak punya uang, ia berhasil menang telak dalam pilkada sumbar. Gamawan dipilih bukan karena ‘politik uang’, bukan pula karena ia di calonkan partai besar, tapi karena ia jujur, bersih dan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kepentingan masyarakat sumbar.

Ini bearti politik sudah memberi tempat bagi orang-orang jujur, bersih, dan berdedikasi tinggi. Kita layak berharap, lima belas sampai dua puluh tahun ke depan, Indonesia akan di pimpinoleh pejabat-pejabat yang di pilih rakyat berdasarkan kemampuan, kejujuran dan dedikasi, bukan lagi karena uang yang di hambur-hamburkan pada saat kampanye. Lima belas tahun yang akan datang, anak-anak muda hari ini berpeluang menjadi pemimpin-pemimpin di negeri ini. Jadi, enggak ada salahnya jika di mulai sejak dari sekarang.



Kader PMKRI

Kamis, 02 April 2009

Politik Golput dan Involusi Politik Indonesia

PMKRI - Opini

Pemilu Legislatif 2009 tinggal menunggu hitungan hari. Partai Politik dan para caleg kontestan dalam konstelasi demokrasi itu kian hiruk-pikuk dalam kesibukannya merebut simpati rakyat. Pelbagai instrument kampanye seperti stiker, kalender, baliho, bendera, dan lain sebagainya bertebaran di mana-mana. Slogan janji dan promosi diri yang agaknya menggelitik memenuhi ruang media baik cetak maupun elektronik. Semuanya bertujuan untuk sosilaisasi diri dengan berharap dikenal dan kemudian dipilih. Seperti itulah mental-mental para politisi Indonesia yang tunggu pemilu baru mau mendekati, mengetahui dan mengenal situasi masyarakat. Memprihatinkan.

Dinamika hiruk-pikuk menuju pemilu legislatif April 2009 mendatang juga tidak terlepas dari “stress politik” yang dialami oleh caleg-caleg yang bernomor urut kecil akibat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 yang menetapkan bahwa penetapan kemenangan calon legislatif tidak berdasarkan nomor urut tetapi berdasarkan suara terbanyak.

Di tengah kesibukan Parpol dan para caleg melakukan promosi muncul kekuatan politik golongan putih (Golput). Golput bagaikan momok pemangsa kekuatan parpol dan merongrong demokrasi, serta ancaman bagi para caleg. Menyadari dan mengantisipasi pengaruh dan kekuatan politik golput ini, tidak tanggung-tanggung Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengaharamkan golput (Kompas, 27/01/2009: 3). Namun tak pelak, beragam rekasi dan tanggapan pun muncul baik pro maupun kontra. Misalnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan dekati golput dengan dakwah, bukan dengan fatwa.


Politik Golput

Golput telah menjadi kekuatan politik sejak Orde Baru masih berkuasa. Adalah Arief Budiman yang membidani lahirnya golput. Esensinya adalah perlawanan terhadap rezim Orba yang otoritarianisme dan menafikan perbedaan pilihan politik. Pamilu tidak lebih dari rekayasa politik dan sekedar seremonial belaka. Saluran komunikasi dan aspirasi politik tertutup untuk perubahan. Padahal masyarakat menghendakinya demi kesejateraan kehidupan sosial.

Reformasi 1998 bergulir dengan tuntutan reformasi total atas seluruh aspek kehidupan sosial. Namun pada aspek sosial politik – golput tetap menjadi kekuatan politik tersendiri. Bahkan pada pemilu legislatif 5 April 2004 lalu golput menang dengan mencapai angka 23,34% (34,5 juta suara). Artinya bahwa antara pemilu pra-reformasi dan pasca-reformasi tidak perubahan sistem politik yang signifikan. Perubahan hanya terjadi di atas permukaan tetapi tidak menyentuh subsatansi demokrasi itu sendiri.

Golput sebagai pilihan politik merupakan sikap sengaja untuk tidak memberikan hak suara dalam pemilu. Sikap politik ini muncul karena adanya political distrust yakni ketidakpercayaan terhadap pranata politik dan juga kecewa dengan situasi politik Indonesia. Dengan demikian, tuntutannya adalah perbaikan sistem secara fundamental serta berpolitik secara etis dan berjuang demi kesejahteraan rakyat.


Involusi politik

Agenda reformasi total yang belum tuntas dalam menata sistem politik Indonesia masih merupakan pekerjaan rumah. Perkembangan kehidupan sosial politik di negeri ini sepertinya mengalami kemandegan. Kelihatannya sudah terjadi perubahan tetapi susungguhnya belum. Meminjam istilah Geertz (1976), Indonesia sedang mengalami semacam involusi yakni suatu kondisi yang menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan sosial tetapi perubahan itu berjalan di tempat.

Dalam kaitannya dengan demokrasi, George Sorensen (1993), seorang teoritisi politik dari gugusan Negara-negara Skandinavia mengembangkan konsep demokrasi beku (frozen democracy) untuk menggambarkan suatu kondisi masyarakat di mana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada. Akibatnya, proses perubahan politik tidak menuju pada pembentukan tatanan sosial politik yang demokratis tetapi sangat mungkin berjalan menyimpang atau berlawanan dengan arah yang dicita-citakan.

Setidaknya ada empat indikator demokrasi beku yang dikembangkan oleh Sorensen dan sangat relevan dengan perkembangan dan situasi politik Indonesia. Pertama, ekonomi yang sempoyongan baik di tingkat nasional maupun lokal. Terlepas dari klaim pemerintah soal peningkatan dan kemajuan perekonomian Indonesia saat ini tetapi yang pasti bahwa masyarakat akar rumput masih tetap hidup dalam penderitaan dan kemiskinan. Kedua, mandegnya proses pembentukan masyarakat warga (civil society). Secara makro ada kecenderungan penguatan masyaraklat madani dengan berbagai kegiatan yang mencoba mengkritisi kebijakan pemerintah. Namun, kecenderungan itu tidak diimbangi dengan ketertiban sosial atau keberadaban masyarakat (civility). Ketiga, konsilidasi sosial politik yang tidak pernah mencapai soliditas tetapi cenderung semu. Idikator ini sangat kental dalam sikap dan mental politisi di negeri ini. Mereka masih sekedar memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Elite politik belum mampu melakukan kerjasama-kerjasama dalam rangka mewujudkan integrasi nasional karena kepentingan kelompoknya tidak diakomodasi sehingga berdampak pada perpecahan di level masyarakat. Keempat, penyelesaian masalah-masalah sosial politik masa lalu yang tidak tuntas misalnya kasus pelanggaran HAM, KKN, dan lain-lain yang merupakan warisan pemerintah sebelumnya. Hal ini melahirkan sikap apatis dan apolitis dari masyarakat terhadap pemerintah.

Dalam kekalutan atas situasi politik yang demikian, rakyat hanya bisa pasrah dan bertanya kapan perubahan dan kesejateraan di negeri ini terwujud? Jika pemerintah, partai politik, dan juga elite-elite politik menyadari betul apa yang sedang dialami oleh masyarakat Indonesia maka tidak ada hal lain yang perlu diperjuangkan selain kesejateraan umum masyarakat dalam segal aspeknya. Untuk mewujudkan kesejateraan itu tentu membutuhkan perjuangan, keberanian, keyakinan, dan visi yang jelas. Ingat bahwa demokrasi bukan sekedar sistem tetapi merupakan roh yang hidup dalam setiap masyarakat melalui gerakan-gerakan akar rumput. Dia merupakan konsekuensi dari perjuangan, visi, dan pilihan.

Nilai-nilai itu tidak diredusir untuk memperjuangkan kepentingan partai dan pribadi. Tidak juga dipoles dalam slogan-slogan semu yang mengelitik masyarakat. Rayat88 membutuhkah wakil yang mampu berkerja nyata dan bukan wakil rakyat yang tukang bolos dan koruptif. Buatlah kami percaya terhadap Anda.

*Lodovitus Dandung (Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Madiun periode 2007-2008)
Sumber:pmkri.web.id,Friday, 06 February 2009 05:32

Sabtu, 28 Maret 2009

Rehat

: rOzx
Di ujung jalan itu
ku terhenti
Lelah...

Marc 2009
Yanche gh

Kamis, 26 Februari 2009

PMKRI Peduli Lingkungan

Oleh: Yohanes Rago* & Titon Prasetyo**


Kebersihan, kesehatan dan keindahan lingkungan merupakan tanggung jawab kita semua. Dengan lingkungan yang bersih maka hidup kita pun menjadi sehat dan terasa indah dan penuh makna untuk dilalui.


Terkait hal itu Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Mataram-Sanctus Thomas Aquinas yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswi yang berasal dari berbagai kampus di Kota Mataram antara lain Univ. Mataram, Univ. Muhammadiya Mataram, Univ. 45 Mataram, Univ. Nadathul Wathan, IKIP Mataram, STIKES, STMIK Bumi Gora dan POLTEKES Gizi dan Analis serta LP3i ini memandang perlu untuk mengambil bagian dalam menjaga lingkungan. Disamping itu kegiatan merupakan tindak lanjut dari Kegiatan Masa Penerimaan Anggota Baru dan Masa Bimbingan (MPAB-MABIM). Sebagai momen untuk memperkenalkan ruang gerak kader-kader muda PMKRI yang baru.

Berdasarkan hasil rapat yang digelar sabtu, 17 Januari 2009, dipimpin oleh saudara Antonius Damianus Mahemba (Ketua panitia Baksos), dan saudari Elvira selaku sekretaris, membuahkan hasil dengan diadakannya bakti sosial untuk membersihkan Pemakaman Kristen Kapitan dan Pantai Ampenan yang diadakan hari Minggu 18 Januari 2009 pada pukul 07.00 dan berakhir pada pukul 16.00. Bakti sosial ini difokuskan pada pembersihan rumput ilalang dan sampah yang berserakan.

Tempat-tempat ini merupakan sasaran yang tepat. Dengan berbekal parang, sapu lidi dan karung seadanya, para anggota PMKRI ini mulai beraksi memberantas rumput ilalang yang ada di pemakaman Kristen, pembersihan di tempat ini selesai pada pukul 12.00.


Setelah beristirahat memulihkan tenaga, kegiatan bakti social dilanjutkan di kawasan pantai Ampenan. Pantai yang merupakan potensi wisata yang cukup besar ini ternyata mempunyai harta karung berupa sampah. Harta karung inilah yang dibersikan oleh anggota PMKRI.

Aksi ini diharapkan akan memberikan ispirasi bagi semua kalangan masyarakat agar turut serta menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan kota Mataram, kalau lingkungan bersih dan indah tentu akan menciptakan kodisi yang bersih pula. Hal ini di ungkapkan ketua PMKRI Cabang Mataram, Anselmus Ngando, pria yang akrab disapa Ansel ini menilai minimnya perhatian pemerintah terhadap kebersihan lingkungan. Padahal keberadaan sampah di lingkungan akan menimbulkan banyak dampak negative yang berakibat pada gangguan kesehatan.

* Anggota biasa PMKRI Cab. Mataram, Mahasiswa semester II STIKES Mataram
** Anggota biasa PMKRI Cab. Mataram, Mahasiswa semester II LP3i Mataram

Senin, 23 Februari 2009

Pemilu 2009 dan Persoalannya

Oleh: Yanche Ghanggo

Tahun 2009 adalah tahun politik. Tahun dimana semua elemen bangsa: lintas suku, agama, ras, dan golongan melebur dalam pesta demokrasi, pesta penentu nasib Bangsa dan Negara ini. Walau langkah kita belum mencapai puncak acara tersebut tapi euphoria pesta mulai tampak. Tentu sangat menarik menyoal tentang pesta demokrasi ini.

Melihat dan mengkaji lebih dalam Pemilu 2009 sesungguhnya membuahkan persoalan-persoalan baru yang krusial, yang selama ini mungkin lepas dari pandangan kita. Mencontreng atau mencentang kertas suara, dimana yang tertera cuma nama calon dan tanpa photo adalah tata cara memilih pada Pemilu 2009 yang diatur dalam UU Pemilu baru. Mekanisme baru ini tentu sangat membingungkan bagi banyak orang, terkhusus bagi para pemilih dari level grass root yang adalah mayoritas pemilih. Dan perlu digaris bawahi bahwa rata-rata pemilih dari level ini tingkat pendidikannya sangat rendah bahkan tidak perna menginjak bangku sekolah, ini adalah kondisi riil yang tidak bisa dibantah. Meski pemerintah mengatakan (Jawa Pos 19/01/2009) bahwa saat ini penduduk buta aksara berusia 15 tahun keatas turun dari dari 15,4 juta (10,2 %) pada tahun lalu menjadi 9.76 juta (5,92 %), padahal sesungguhnya kalau mau jujur hampir 30 % penduduk Indonesia masih buta huruf , tidak hanya di wilayah pedesaan tapi di perkotaanpun masih cukup banyak belum tuntas, sebagai salah satu fasilitator program pembrantasan buta aksara hal inilah yang ingin penulis katakan dengan jujur.

Dengan mekanisme yang sama sekali baru dan berbeda, lalu timbul pertanyaan apakah harapan dan tujuan untuk membawa angin perubahan dengan memilih orang tepat yang berperilaku sesuai etika politik akan terjawab dengan sistem seperti ini? Sungguh sebuah kebijakan yang tidak cerdas dan tidak bijak serta cendrung dipaksakan karena disamping tidak mampu mengakomodir hak-hak politik pemilih marginal, pun tidak tepat guna. Alasan bahwa Indonesia adalah satu Negara dari tiga Negara di Dunia yang menggunakan mekanisme coblos tidak dapat dijadikan pijakan yang kuat untuk mengubah mekanisme mencoblos, tanpa ada proses dan transisi mekanisme yang jelas. Sebaiknya perlu ada sebuah investigasi, penelitian dan analisis yang jujur, sebelum mengambil sebuah kebijakan sehingga tidak mubazir. Akibatnya pada Pemilu 2009 akan banyak kertas suara rusak. Walau diantisipasi dengan membentuk tim penyuluh untuk mensosialisasikan mekanisme baru ini ke tataran masyarakat akar rumput, hasilnya tetap nihil disamping dana yang dibutukan besar, dan tentu butuh proses gradual dan panjang.

Disamping mekanisme mencontreng atau mencentang, timbul persoalan lain yang mengakibatkan Pemilu ini walau disatu sisi demokratis tapi disisi lain ademokratis. Titik persoalannya terletak pada pembatalan electoral threshold dan penerapan suara terbanyak oleh Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, ini adalah satu soal baru yang bukan tidak mungkin mengakibatkan mewabanya money politics dan bermunculannya para makelar suara dan mengakibatkan pemilih semakin tidak sadar politik. Tendensi perilaku akrobatik tidak cerdas politikus yang terjadi selama ini akan semakin marak, serta ikut memiliki andil besar timbulnya sikap tidak sadar politik para pemillih. Istilah “serangan fajar” adalah salah satu fakta yang mendorong timbulnya logika berpikir bahwa “anda beri uang saya pilih anda,” dan pada pemilu 2009 tensi serangan fajar akan semakin meningkat. Sehingga suka atau tidak suka, Pemilu adalah ladang bisnis baru dimana suara dapat dibeli.

Menyikapi persoalan-persoalan ini, pengambil kebijakan perlu mempertimbangkan setiap kebijakan dari berbagai aspek sebelum mengambil keputusan sehingga sungguh tepat guna dan adil. Kedua, semua elemen bangsa baik Pemerintah, NGO, Ormas-ormas Mahasiswa, Partai politik dan para calon perlu mendorong masyarakat untuk terus-menerus mengontrol mekanisme demokrasi melalui pendidikan politik agar suara rakyat benar-benar mendapat ruang demi pembangunan demokrasi nation-state Indonesia kita kedepan.

*Yanche Ghanggo Ate
Eks Fasilitator Program Buta Aksara Kota Mataram
Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Mataram-NTB

Rabu, 04 Februari 2009

Layak, Pantas, dan Ideal

Oleh : Yanche Ghanggo

Sebelum menjawab teka-teki siapa-siapa saja yang akan menjadi penentu arah, pengawal demokrasi, ideologi dan konstitusi Negara Republik Indonesia. Ada beberapa hal-hal krusial dan substantif yang perlu dikaji, ditela’ah secara mendalam dalam diri calon baik dari tataran eksekutif maupun legislatif. Sehingga kita tidak merugi ketika mereka telah menduduki posisi-posisi kunci di Republik ini.Hal-hal yang perlu dianalisa meliputi Kemurnian motivasi,Kecerdasan intelektual dan emosional, visi dan misi realistis terukur, dan yang terakhir rekam jejak para calon.

Pertama, kemurnian motivasi calon perlu digaris bawahi dan dicermati dengan seksama. Ketakutan terbesar adalah adalah cukup banyak calon tidak memiliki motivasi murni. Penting bagi pemilih untuk mengetahui motif sesungguhnya yang melatarbelakangi mengapa sang calon mengambil keputusan berani untuk maju, sehingga suara rakyat tidaklah sia-sia dan benar-benar diperjuangkan. Fakta selama ini menjawab mengapa hal ini penting, jika melihat dan mengulas kembali kinerja para anggota DPR terpilih pada Pemilu 2004.

Kedua adalah kecerdasan intelektual dan emosional. Kedua kompetensi perlu dikuasai oleh para calon yang adalah decision maker nantinya, sehingga ketika berada dipuncak kekuasaan, para calon mampu berpikir analitis, kritis dan cerdas dan bersikap sesuai etika politik dan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Melihat kompetensi para calon timbul tanda tanya besar pada aras ini, akankah harapan 200 juta lebih rakyat bangsa kan tergapai? Pengukuran kapasitas diri adalah sebuah keniscayaan.

Ketiga, calon mesti memiliki visi dan misi realistis terukur. Banyak kali terjadi para calon baik eksekutif maupun legislatif hanya membuat janji politik seperti menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan tanpa menguraikan langkah-langkah strategis apa yang diambil untuk merealisasikan janji. Gerakan politik yang dilakukan oleh Boni Hargens dan kawan-kawan dari Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) untuk mengajukan gugatan class action terhadap Presiden SBY atas tidak terealisasinya janji-janji politik pada Pemilu 2004 adalah sebuah langkah yang patut diapresiasi (Jawa Pos 15/1/09), dan disatu sisi memberi pelajaran baru bagi para calon serta pendidikan politik bagi para konstituent agar tidak terlena dengan janji-janji politik kosong para calon yang merugikan rakyat.

Dan yang terakhir adalah rekam jejak para calon. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak politisi dengan track record buruk kembali mencalonkan diri, Yaitu politisi yang biasa dijuluki dengan istilah "politikus busuk." Konsekwensi besar menanti jika mereka sampai memenangi Pemilu. kepercayaan kita (rakyat)akan disalahgunakan oleh mereka yang tidak memahami etika politik dan tujuan mulia politik yang sesungguhnya, yaitu demi kesejahteraan rakyat yang adalah representasi Tuhan, apakah kita mau?

Poin-poin penting inilah yang terlebih dahulu harus kita cermati dan sikapi untuk mengontrol mekanisme demokrasi agar aspirasi rakyat sungguh mendapat tempat. Kemudian berlanjut pada siapa aktor berkredibilitas, berkapabilitas, berintegritas, serta cerdas intelektual dan emosional yang layak dan pantas dipercaya menentukkan arah Indonesia menuju Indonesia baru yang berkemajuan, baik dari aspek politik, ekonomi, sosial, hukum, pertahanan dan keamanan, moral dan budaya yang lebih baik dari hari kemarin dan hari ini.

*Yanche Ghanggo
Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cab. Mataram
Mahasiswa Tingkat X English Department Univ. Mataram

Sabtu, 31 Januari 2009

Selasa, 13 Januari 2009

Quo Vadis Indonesiaku?

Oleh: Yanche Ghanggo

Krisis Multidimensional yang meliputi krisis politik, ekonomi, budaya, moral, hukum, dan keamanan pada hakekatnya dikarenakan oleh pergeseran pendulum (bandul) Pancasila sebagai tatanan nilai dasar berbangsa dan bernegara yang dibiarkan terlantar; rasa nasionalisme sebagai satu bangsa yang terkikis; gelombang-gelombang primordialisme; tendensi-tendensi komunalistik; birokrasi yang cendrung gemuk, tidak sehat dan korup; ekonomi yang tidak merakyat; hukum yang tidak berkeadilan. Yang pada akhirnya, bukan tidak mungkin akibat adanya ketimpangan-ketimpangan ini menghantar kita menuju jurang disintegrasi.

Melihat situasi dan kondisi kekinian bangsa ini, pertanyaan yang muncul adalah: Quo Vadis?

Sebelum sendi-sendi bangsa ini remuk perlu ada gerakan moral  raksasa dari semua elemen bangsa dan negara untuk merevitalisasi dan menegaskan kembali PANCASILA dan UUD 1945 sebagai pusat orientasi strategis, acuan, pegangan dan norma berbangsa dan bernegara di tengah badai perubahan yang menerjang keras. 100 tahun Kebangkitan Nasional adalah momentum yang tepat untuk mentransfomasi Keindonesiaan kita, mendobrak kemapanan sistem yang merupai benang kusut dan inkonstitusional. Sehingga tercapai keadaban publik;  sistem hukum yang jujur, adil dan bermoral; sistem politik yang mengedepankan bonum commune (common good)  bukan kepentingan elitis atau kelompok dan keluarga; birokrasi yang sehat, tidak korup dan ramping sehingga tidak ada tumpang tindih kebijakan yang merugikan rakyat banyak; sistem ekonomi yang merakyat bukan sosialis dan neo kapitalis; sistem pertahanan dan keamanan yang berwibawa.

Dan untuk meretas transformasi, pertama-tama adalah semua elemen bangsa dan negara ini harus  memurnikan motivasi sehingga niat dan tujuan adalah bersih dan tulus tanpa dimuati motif kepentingan-kepentingan tertentu dan sesaat,  kemudian menuju pada pembangunan Visi, Misi dan kekuatan solid yang konsistensinya terjaga dan yang terakhir aksi gerakan pembersihan, revitalisasi dan penegasan kembali sistem.

Tapi, apakah kita siap dan mau untuk melakukan sebuah gerakan moral masif demi melakukan sebuah  transformasi total bukan reformasi yang cendrung tambal sulam?

Untuk menjawab pertanyaan Quo Vadis Indonesiaku? Semuanya kembali pada kita semua yang adalah bagian utuh dan tak terpisahkan dari bangsa ini untuk sama-sama menjawab keprihatinan ini dengan tulus dalam aksi nyata, jelas dan terencana serta terukur tingkat keberhasilannya. Sehingga semua elemen bangsa ini dari level grass root (akar rumput) sampai level elit dapat hidup sejahtera, makmur, aman, damai dalam naungan rumah Nusantara yang bersih dan sehat, sebagaimana dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 1945 yang dikonsepkan dengan baik oleh para founding fathers bangsa yang bersemboyankan Bhineka Tunggal Ika ini. 

Pro Ecclesia et Patria!

* Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cab. Mataram 2008/2009, Mahasiswa Tingkat X English Departement-Universitas Mataram 

"In Principiis, UNITAS. In Dubiis, LIBERTAS. In Omnibus, CHARITAS"

Oleh: Yanche Ghanggo 

"In Principiis, UNITAS. In Dubiis, LIBERTAS. In Omnibus, CHARITAS."

Dalam Soal Yang Prinsipil, SATU.  Dalam Soal Yang Terbuka, BEBAS. Dalam Segala Soal, KASIH

Ungkapan ini adalah milik Mgr. Soegijopranoto yang dikirim Bang Faris-Wangge (Eks KP PMKRI Cab. Denpasar)

Ungkapan reflektif dan inspiratif untuk bangkit dan bergerak memperjuangkan sesuatu yang harus diperjuangkan terkhusus oleh kader-kader yang beridentitaskan INTELETUALITAS, KATHOLISITAS, dan FRATERNITAS.  Setuju? 

* Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cab. Mataram 2008/2009, Mahasiswa Tingkat X English Departement-Universitas Mataram 

Please give your comment to us!