Minggu, 16 Mei 2010

Korupsi dan Peran Penyikapan Mahasiswa

Oleh Kanisius Umbu*

Negeri Korupsi adalah tempat orang muda malas dan orang tua gatal, kedua jenis kelamin dari segala umur penuh budaya jorok (hingga) aturan yang baik menjadi tidak berguna sebab diselewengkan.
Machiavelli (Dalam Hikayat Florentin)

Korupsi adalah perilaku yang sungguh tidak memaknai keadilan sosial, kemanusiaan dan persaudaraan sejati secara mendalam sehingga yang terjadi adalah sebaliknya yaitu perusakan tanpa ampun terhadap ketiga nilai utama diatas tersebut. Proses pengeroposan perilaku korup yang selama ini dicanangkan pemerintah melalui lembaga super bodinya masih jauh panggang dari api, dimana masih ada pengklasifikasian dan tebang pilih pada dua kasta pelaku yaitu koruptor “kelas teri” dan “kelas kakap.” Cendrung melahap teri untuk menutupi kelemahan melahap kakap. Ini salah satu kasus mengapa perang terhadap korupsi selalu berada pada titik naik dan turun atau gencatan senjata dan menarik pelatuk. Pertanyaan yang menyeruak adalah dimana political will pemerintah yang tegas? Dimana kesadaran politik rakyat? Dan dimana fungsi control mahasiswa sebagai agent perubahan (agent of change) bukan penerus kerusakan?

Mahasiswa dalam menghidupi tanggung jawab sosial mesti mengambil peran substansial dalam menyikapi persoalan kebangsaan ini jika tidak menginginkan bangsa ini menuju titik degradasi, yaitu bangsa yang gagal. Genderang perang terhadap manajemen korupsi yang melembaga harus dibunyikan oleh mahasiswa mulai dari sekarang. Itu demi memperjuangkan hak rakyat miskin dengan berasaskan pada pancasila dan tiga janji mahasiswa yaitu mahasiswa yang gandrung akan kejujuran.

Peran Mahasiswa

Beberapa tahun terakhir, peran mahasiswa dalam memperjuangkan perubahan kesejahteraan mulai terkikis. Tak dipungkiri bahwa semua ini terjadi karena serangan hegemoni modernistik dan hedonisme. Semangat melawan penjajahan yang sering diusung oleh mahasiswa tidak lagi menjadi basis perjuangan. Dengan dalih sibuk dengan kuliah, waktu yang kurang tepat, serta berbagai seribu dalih lainnya melatar belakangi sifat keengganan mahasiswa dalam mengawal kerja pemerintah. Tentu kita bisa memaklumi itu semua tapi apa gunanya kalau hanya duduk di bangku kuliah sambil menungu dosen, tidur di kos, dan berbagai pekerjaan lain yang dirasa kurang penting. Mahasiswa, sebagai garda terdepan dalam perjuangan pembebasan dari penjajahan(korupsi, neoliberalisme) harus memposisikan dirinya untuk rakyat tertindas. Dalam hal ini, sikap kritis dan dan tanggap akan kecemasan masyarakat harus diperjuangkan. Tentu saja ini tidak serta merta terjadi perubahan tetapi perubahan hanya akan terjadi ketika kita bersuara. Suara dan kata-kata adalah senjata untuk melawan segala bentuk penjajahan yang menggerogoti bangsa ini. Mahasiswa diharapkan menjadi laskar pemberani dalam era krisis kepemimpinan bijaksana nan peduli kepada kaum papa. Sejarah telah membuktikan bahwa mahasiswa bisa bersatu dalam penjatuhan rezim orde baru. Tak ada pandangan dan rekam jejak yang berani meng-klaim bahwa peristiwa itu adalah buah pergerakan hanya oleh sebuah kelompok mahasiswa saja. Semua sepakat seluruh kelompok gerakan mahasiswa punya andil yang sama menjatuhkan rezim orde baru. Ketiadaan bendera yang menonjol membedakan gerakan mahasiswa 1998, dengan gerakan mahasiswa sebelumnya. Jika pada Mei 1998 ada garis-garis yang meng-kulminasi lalu berbuah kejatuhan Soeharto, maka setelahnya garis-garis itu kembali memencar.

Saat ini gerakan mahasiswa mengalami gejala dimana beberapa kelompok melihat mutlaknya kebutuhan untuk bergabung dengan sektor-sektor lain dalam masyarakat, terutama buruh dan tani. Kelompok mahasiswa lain melihat bahwa sudah saatnyalah sekarang gerakan mahasiswa ‘back to campus’. Berjuang mendemokratiskan kehidupan akademis di kampus. Gejala lain lagi terdapatnya sejumlah kelompok mahasiswa yang terus turun ke jalan, mengalami radikalisasi luar biasa dalam metode dan strategi. Mereka ini, melihat bahwa mahasiswa harus terus konsisten menyuarakan kelanjutan berbagai tuntutan politik nasional. Sebagai bagian dari kelompok yang terdidik, mahasiswa kerap diidentikan dengan kaum intelektual. Kaum intelektual adalah mereka yang selalu tertarik dengan pemikiran yang paling baru.Memiliki "pekerjaan" untuk terus menerus melakukan refleksi, analisa kritis dan berhaluan maju ke muka. Kaum intelektual cenderung gelisah sehingga kerapkali mencari kemungkinan-kemungkinan bagi rakyat dimana mereka berada. Meminjam pandangan, Franz Magnis Suseno: kaum intelektual berlaku sebagai garam intelektual masyarakat, yang kerap mencegah kehidupan intelektual warga menjadi tawar dan basi. Edward Said, seorang intelektual besar asal Palestina, bahkan secara tegas merumuskan panggilan kaum intelektual sebagai "pencipta" sebuah bahasa yang mengatakan yang benar, kepada yang berkuasa.
Dengan pelabelan seperti ini maka bagi penulis dapat dikatakan, pertama, pretensi utama gerakan mahasiswa ada pada nilai dan gagasan, bukan benda atau kekuasaan. Nilai dan gagasan itu terpancar dalam suara hati, kesadaran diri, imajinasi dan kehendak bebas-nya. Mereka berpijak pada nilai keadilan, kebebasan, kesaudaraan dan kemanusiaan. Gagasan-nya selalu berpihak pada kaum tertindas. Pilihan metode gerakan tak mesti tunggal yang dikembalikan kepada masing-masing pelaku dan organisasi mahasiswa. Tak ada metode yang lebih unggul dibanding lainnya, sebab efektifias metodologi tergantung ruang-waktu dimana sasaran utama mau dimainkan.

Kedua, gerakan mahasiswa selalu memiliki pamrih dari perjuangannya. Namun, yang membedakan ia dari gerakan politik ke-partaian adalah pada pamrih tersebut. Gerakan mahasiswa merupakan gerakan politik nilai. Ia punya pamrih menjatuhkan rezim, bahkan menjungkirbalikan-nya, ketika rezim tersebut dipandang telah mengangkangi kedaulatan rakyat. Gerakan mahasiswa adalah oposan paling sejati dari sebuah rezim apapun yang tengah berkuasa. Muara akhir dari gerakan mahasiswa ada pada pencapaian kedaulatan rakyat sesungguhnya. Merekalah para pelaku yang selalu berupaya membongkar kesadaran rakyat tentang struktur politik, ekonomi, sosial dan budaya yang menindas dan eksploitatif. Bersama rakyat menjungkirbalikan-nya lalu, membangun kontrol sosial bagi pembangunan dan penataan struktur-struktur tersebut. Untuk itulah, mahasiswa diharapkan menjadi motor penggerak dalam menyikapi dan menangkap fenomena kelicikan elit politik kita yang kian hari terperosok ke dalm jurang kehancuran. Tentu, bukan hal yang mudah memang tetapi cara seperti inilah yang bisa membawa perubahan di bumi pertiwi tercinta. Semoga mahasiswa tetap berjuang demi kemajuan dan perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Semoga!
Hidup Mahasiswa!!

Kanisius Umbu
*Anggota Biasa PMKRI Cab.Mataram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar