Minggu, 16 Mei 2010

Mutu Pendidikan Bangsa Merata?

Oleh Antonius Damianus Mahemba*

‘Orang miskin tidak boleh sekolah,’ sebaris kalimat ini pantas untuk mengajak masyarakat mendobrak kekuatan politik para pemimpin yang mendiskriminasi kebutuhan intelektualitas anak-anak bangsa. Kekuatan kualitas pendidikan sangat berpengaruh bagi kemajuan suatu negara di dunia, pendidikan merupakan hal yang tidak terlepas dan mengikat dalam meningkatkan kesejahteraan bangsa maupun identitas bangsa.
Pendidikan formal dan non-formal, menjadi tidak relavan implementasinya dengan berbagai kebijakan serta aturan dikeluarkan pemerintah, yang keluar dari prinsip untuk membangun dan mencerdaskan bangsa Indonesia.

Memasuki reformasi, pendidikan masyarakat semakin merosot kritis tanpa pengawalan tegas dari pemerintah terhadap mutu anak-anak bangsa, malah muncul berbagai aturan-aturan pemerintah yang tidak bijaksana serta menyudutkan masyarakat kecil, seperti UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( Sisdiknas), UU Sisdiknas mengatur bahwa perguruan tinggi (PT) harus otonom, artinya PT harus mampu mengelola lembaga dan dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.sedangkan, sekolah/ madrasah harus dikelola dengan perinsip manajemen berbasis atau madrasah, yang berarti otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan.

Badan hukum pendidikan (BHP), adalah aturan pemerintah yang telah dicabut oleh Mahkama Konstitusi, namun akar-akarnya bertunas sebagai kekuatan hukum dalam meneruskan politik kotor oleh oknum-oknum tertentu, artinya sebelum dicabut UU No.20 tahun 2003 yang mengatur secara umum tentang PT harus otonom. Badan hukum pendidikan mengatur secara khusus dan tindak lanjutan dari UU No.20 tahun 2003.

Pendidikan yang tidak merata dirasakan hampir seluruh masyarakat indonesia, masih banyak masyrakat yang belum mengenyam pendidikan formal dan nonformal. alokasi anggaran pendidikan bagi sekolah – sekolah terpencil belum merata, diskriminasi pendidikan merajalela dengan krakter-krakter pecundang politik. pendidikan yang kondusif lebih ditekankan di daerah-daerah perkotaan dengan fasilitas dan sarana-prasarana yang lengkap, sedangkan di daerah-daerah pedesaan (terpencil) di anak tirikan oleh pemerintah, kebijakan ini tidak bijakasana dalam membangun bangsa, serta mempertanggungjawabkan warisan pahlawan untuk membawa bangsa ini ke pelabuhan kesejahteraan tanpa ada pembedaan.

Mekanisme distribusi dana pendidikan, dilakukan pemerintah mengarah pada birokrasi pendidikan, sehingga pembangunan mutu pendidikan di sekolah-sekolah terpencil tidak direalisasi dengan baik, banyak sekolah tapi siswa hanya hitungan jari artinya, Pengadaan hardwere lebih dimaksimalkan daripada softwere, hal ini tidak dijadikan pertimbangan dalam melihat realita yang ada, pembangunan pendidikan di daerah terpencil adalah sangat penting seperti, pengadaan Laboratorium, Media ( komputer dan Internet), guru (minimal Strata 1),dan alat srana-prasrana penunjang lainnya.

Dari data diatas pemerintah mesti segera membenahi beberapa masalah yang berkaitan dengan pendidikan mengenai UU No.20 tahun 2003 sebagai akar BHP, alokasi anggaran dana pendidikan ke daerah-daerah terpencil dan mekanisme distribusi dana pendidikan yang cenderung tidak transparan, harus diawasi sendiri oleh masyarakat kerena faktanya meski komite sekolahpun yang ditetapkan sebagai wakil masyarakat tapi cendrung “kena angin atau bermandi basah ria” atau merajut konspirasi bersama birokrat institusi pendidikan dalam hal mark up (penggelembungan) anggaran pendidikan. Ini mejadi penting agar tindakan yang tidak terpuji ini tidak ditonjolkan dan kebutuhan pendidikan masyarakat lebih terjamin.

Pendidikan merupakan roh negara, tapi tidak dijadikan tolak ukur dan titik tolak pemerintah menuju perubahan yang lebih baik. Permasalahan ini menuntut semua elemen mahasiswa dan LSM, agar bersatu menghancurkan pengecut-pengecut politik yang tidak memegang prinsip membangun bangsa.

Antonius Damianus Mahemba
*PresidiumGerakan Kemasyarakatan DPC PMKRI Cabang Mataram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar